Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mungkin JPU Kasus Novel Hanya Melucu

18 Juni 2020   06:27 Diperbarui: 18 Juni 2020   06:29 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jejak digital JPU kasus Novel Baswedan/Sumber: Tirto.id

Dulu, sewaktu SD dan SMP di era 80-90an, teman-teman sekolah saya biasa bercanda usil. Misalnya, pura-pura menabrak teman yang lain, lantas ketika yang bersangkutan marah, si penabrak kemudian dengan entengnya bilang, "Maaf, tidak sengaja." Itu pun dengan mimik cengengesan tanpa rasa bersalah.

Adegan kian seru jika yang ditabrak perempuan.

Biasanya adegan tabrakannya disertai dengan senggolan atau sentuhan pada bagian sensitif kewanitaan, seperti dada atau bokong. Atau bahkan dengan pelukan colongan.

Jika si korban malang, sebut saja namanya Mawar, ngamuk atau bahkan menangis, pembelaan pamungkasnya tetap sama: "Nggak sengaja ya!"

Jika pun kasusnya berakhir dengan penyidangan kasus oleh guru, biasanya si pelaku beralibi bahwa ia sekadar berkelakar atau melucu. Melucu yang tidak lucu, tentunya. Andai terjadi saat ini, tentu perkaranya akan lebih ruwet, dan tidak mustahil berujung ke meja hijau dengan delik pelecehan seksual.

Alhasil, saya teringat rekan-rekan usil saya itu ketika menelusuri profil sang Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus penganiayaan Novel Baswedan (penyidik senior KPK) yang karib dikenal sebagai "insiden air keras Novel".

Namanya panjang dan berwibawa, Robertino Fedrik Adhar Syaripuddin. Tampilan perlente. Gaya hidupnya, sebagaimana yang beredar viral di media sosial, khas tipikal kalangan berduit. Namun, saya kira ia tidak jauh berbeda dengan rekan-rekan jail saya dulu. Senang berguyon usil.

Hal itu terpampang nyata dalam tuntutan yang disusunnya terhadap kedua penyerang Novel Baswedan dengan air keras, yang hanya mengajukan tuntutan hukuman satu tahun penjara. Itu pun dengan imbuhan dalil faktor "ketidaksengajaan".

Kadang saya pikir mungkin dahulunya Jaksa Fedrik Adhar (FA) ini bercita-cita ingin jadi advokat, alih-alih jadi jaksa, sehingga kali ini perannya tertukar. Kendati mungkin tidak sengaja.

Andai semua jaksa seperti Jaksa FA, pastilah dijamin para advokat di negeri ini akan kekurangan job, berkurang pekerjaan dan otomatis anjlok penghasilannya. Sebab jika jaksa berlaku selayaknya advokat, lantas advokat akan jadi apa?

Tapi, dengan reputasinya sebagai anggota tim JPU dalam kasus penistaan agama dengan terdakwa Ahok (yang juga dituntut JPU sangat ringan yakni 1 tahun hukuman penjara, dan akhirnya hakim mengeluarkan putusan ultra petita dengan vonis 2 tahun hukuman penjara) yang tergolong kasus high profile dan menjadi sorotan publik, Jaksa FA pasti bukan orang ecek-ecek. Ia tentu punya kualitas dan kualifikasi tertentu.

Barangkali ia hanya senang berguyon dan melucu, saya berhusnuzon. Setidaknya itu tampak dalam tangkapan layar kelakarnya di Twitter bersama salah seorang komika perihal Alexis, yang juga viral di media sosial.

Namun, selayaknya para abege usil seangkatan saya dulu, guyonan Jaksa FA jelas tidak lucu.

Jika ini yang dipersepsikan publik, yang patut dipersalahkan adalah rendahnya selera humor Jaksa FA. Yang jelas tidak berkelas, jauh laksana bumi dan langit antara citra tampilan glamor dan mentereng yang dipertontonkan di media sosialnya (dalam hal ini, jangan tanya soal nominal gaji pokok seorang jaksa).

Itu pun jika ia hanya melucu. Dan niscaya akan dicatat sebagai guyonan super tidak lucu dalam sejarah peradilan di Indonesia. Jika serius? Patut dicek, ia punya kemaluan rasa malu atau tidak.

Demikian juga para perisak dan para pendengung (buzzer), terlebih buzzer RP, yang melakukan perundungan (bullying) atas Novel Baswedan yang notabene adalah korban dalam kasus kekerasan ini, hanya karena ia sepupu seorang Anies Baswedan yang tidak disukai kalangan tertentu dan/atau karena tampilannya (bercelana cingkrang dan berjenggot yang diidentikkan dengan kalangan Islam garis keras dan dilabeli "KPK Thaliban"), sehingga mengesampingkan nurani keadilan dan common sense (akal sehat).

Bagi para imbesil ini, selain rasa malu, perlu dicek juga apakah mereka punya hati dan otak.

Jakarta, 18 Juni 2020

Baca Juga: New Normal Jalan Tengah Jokowi dan New Normal dalam Bahasa Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun