Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama FEATURED

Belajar dari Kudeta Konstitusional Malaysia

2 Maret 2020   08:16 Diperbarui: 2 Februari 2021   16:24 7406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
© Provided by Free Malaysia Today | Dr Mahathir Mohamad says Anwar Ibrahim has always been ‘crazy’ to become prime minister.

Memang terkesan seperti fetakompli (fait accompli). Tetapi, dalam hal ini, sebagai negara yang berlandaskan sistem monarki konstitusional, titah atau restu raja Malaysia merupakan kata akhir untuk persoalan urgen dan vital seperti pergantian tampuk kepemimpinan.

Namun ada beberapa isu yang mengganjal dan berpotensi menjadi bom waktu. Antara lain, sebagaimana dipersoalkan kubu Pakatan Harapan dan kalangan media serta aktivis prodemokrasi Malaysia, berapa jumlah pasti dukungan mayoritas parlemen untuk penentu kemenangan Muhyiddin tersebut masih misterius dan terkesan dirahasiakan. 

Demikian juga restu dari Yang Dipertuan Agung yang merupakan putusan final dan penentu dalam sistem monarki konstitusional Malaysia dianggap cenderung bias kepentingan karena raja Malaysia tersebut dianggap punya interes politik sendiri dan lebih suka melihat tampilnya tokoh bumiputera yang dianggap lebih menjunjung supremasi pribumi Malaysia seperti Muhyiddin Yasin alih-alih Dr. M atau Anwar Ibrahim yang dianggap lebih dekat dan akomodatif dengan kalangan non-Melayu, seperti India dan Tionghoa.

Selain itu juga,  ada kekhawatiran yang meluas di kalangan rakyat Malaysia yang multi-etnis akan pudarnya warna pemerintahan Malaysia yang ramah akan keberagaman etnis dan agama yang selama ini dijunjung oleh pemerintahan Pakatan Harapan. 

Membayang ketakutan akan kembalinya warna dominan supremasi pribumi yang cenderung intoleran terhadap keberagaman Malaysia (sebagaimana di era rezim Barisan Nasional) di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Muhyiddin Yasin yang diusung koalisi Perikatan Nasional, yang nota bene adalah reinkarnasi dari Barisan Nasional.

Namun, bagaimanapun lika-likunya, di akhir cerita babak kedua ini, Muhyiddin Yasin, yang pernah menjabat Menteri Dalam Negeri di era pemerintahan Pakatan Harapan (2018-2020) dan Wakil Perdana Menteri di era PM Najib Razak dari Barisan Nasional (2009-2015), adalah figur politisi ulung yang tercatat sebagai pemenang pertarungan politik terkini di Malaysia dan telah resmi menjabat sebagai Perdana Menteri Malaysia untuk periode 2020-2025.

Sejarah telah mencatatnya. Dan tentu sejarah juga akan mencatat kelak bagaimana akhir cerita babak selanjutnya karena kabarnya Mahathir Mohammad dan Anwar Ibrahim dengan gerbong koalisi Pakatan Harapan yang tersisa (termasuk faksi Muhriz Mahathir yang juga putera Dr. M di tubuh Partai Bersatu yang kini dipimpin Muhyiddin Yasin) bersiap-siap akan melakukan perlawanan konstitusional parlementer.

Dalam hal ini, minimnya upaya penggunaan kekuatan massa ekstra-parlementer dalam perpolitikan Malaysia, tentu layak diapresiasi dan patut ditiru.

Berbeda dengan Indonesia di mana mobocracy (demokrasi berbasis kekuatan massa), yang cenderung lebih berdampak luas pada sektor perekonomian dan berdampak risiko kerusakan dan korban jiwa lebih besar, kerap dianggap sebagai jalan penentu keberhasilan negosiasi politik ketimbang adu kelihaian taktik politik, kecanggihan argumentasi debat dan kegesitan diplomasi.

Tentunya dengan mengesampingkan faktor politik uang yang bersifat transaksional yang menyuburkan praktik pencari rente yang membahayakan kualitas demokrasi yang sehat dan beradab.

Dalam konteks perpolitikan Indonesia, ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari drama "kudeta konstitusional" di negara jiran tersebut. Antara lain, betapa politik itu sangat cair dan dinamis. Terbukti betul adagium klasik bahwa "dalam politik tak ada seteru atau sekutu abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun