Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama FEATURED

Belajar dari Kudeta Konstitusional Malaysia

2 Maret 2020   08:16 Diperbarui: 2 Februari 2021   16:24 7401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
© Provided by Free Malaysia Today | Dr Mahathir Mohamad says Anwar Ibrahim has always been ‘crazy’ to become prime minister.

Sebagai pengagum Tun Mahathir Mohammad dan Datuk Seri Anwar Ibrahim baik sebagai pemikir (keduanya masing-masing menulis buku The Malay Dilemma dan Gelombang Kebangkitan Asia) maupun sebagai politisi, saya mengikuti betul kisah dan perjalanan hidup kedua tokoh politik kawakan Malaysia tersebut, termasuk berita-berita seputar perpolitikan negara jiran tersebut.

Dulu, ketika Dr. M (sebutan akrab untuk Tun Mahathir Mohammad) dan Anwar Ibrahim bersanding sebagai Perdana Menteri (PM) dan Timbalan (Wakil) Perdana Menteri pada era jelang krisis moneter Asia pada 1996-an, saya menaruh harapan besar akan perpaduan keduanya yang merupakan contoh dwitunggal pemimpin sebagai cahaya Malaysia dan Asia Tenggara.

Tatkala keduanya berseteru selama belasan tahun, konon penyebab awalnya adalah perbedaan visi pemerintahan dalam penanggulangan krisis moneter, saya turut kecewa. 

Dan harapan saya kembali terbit saat mereka bersatu kembali dan membentuk koalisi Pakatan Harapan pada 2018 untuk menggulung rezim Barisan Nasional. 

Namun, asa itu pupus di akhir Februari ini. Jelaslah ini pelajaran pertama bahwa tak boleh baperan (terbawa perasaan) atau kelewat melankolis dalam berpolitik.

Apa yang terjadi di pentas politik Malaysia dalam sepekan terakhir di akhir Februari 2020 dapatlah disebut sebagai "kudeta konstitusional". 

Penunjukan Datuk Seri Muhyiddin Yasin yang juga wakil ketua Partai Bumiputera Bersatu Malaysia (Bersatu) (yang didirikan Mahathir) sebagai Perdana Menteri Malaysia oleh Raja Malaysia Yang Dipertuan Agung Sultan Abdullah (ex officio Sultan Pahang) dituding oleh Mahathir Mohammad, mantan PM Malaysia yang mengundurkan diri pada 24 Februari 2020, sebagai "melanggar hukum dan pengkhianatan" (illegal and betrayal), demikian yang dikutip oleh situs Malaysiakini dan berbagai media asing di luar Malaysia, salah satunya situs BBC Inggris.

Mahathir Mohammad dan Muhyiddin Yasin/Sumber: theworldnews.net
Mahathir Mohammad dan Muhyiddin Yasin/Sumber: theworldnews.net
"Saya dikhianati oleh Muhyiddin. Dia telah menyusun rencana ini dan sekarang dia sukses," demikian keterangan pers yang disampaikan Mahathir jelang pelantikan PM Malaysia yang baru pada Ahad, 1 Maret 2020.

Uniknya, tuduhan yang sama juga dilayangkan Datuk Seri Anwar Ibrahim, mitra koalisi Dr. M dalam Pakatan Harapan, kepada Mahathir sendiri selepas pengunduran diri Mahathir sebagai Perdana Menteri Malaysia hasil Pemilu ("Undian Raya" dalam istilah Melayu Malaysia) 2018 yang terkesan mendadak dan sepihak.

Padahal Mahathir dan Anwar, kendati sempat berseteru sejak 1998 saat berduet sebagai Perdana Menteri dan Wakil Perdana Menteri Malaysia, telah mengikat ikrar politik sebagai syarat bergabungnya partai bentukan Mahathir (sempalan dari UMNO) yakni Partai Bumiputera Bersatu Malaysia (Bersatu) dengan Pakatan Harapan. 

Pakatan Harapan adalah koalisi oposisi Malaysia yang terdiri dari Partai Keadilan Rakyat (PKR) yang didirikan oleh Anwar Ibrahim, Partai Amanah yang merupakan partai pecahan PAS, dan partai berbasis etnis Tionghoa seperti Democratic Action Party (DAP) demi menggusur dominasi koalisi Barisan Nasional yang beranggotakan UMNO (United Malays National Organization), Partai Islam Se-Malaysia (Pan-Malaysian Islamic Party/PAS),  Malaysian Chinese Association (MCA), dan Malaysian Indian Congress (MIC) selama enam puluh satu tahun (1957-2018).

Klausul kesepakatan ikrar yang mengemuka adalah Dr. M diajukan sebagai calon perdana menteri Malaysia demi menantang sang perdana menteri petahana Najib Razak, yang nota bene adalah murid politik Dr. M, sama seperti Anwar Ibrahim sendiri, dan, jika menang, paling lambat dua setengah tahun sejak hari pertama masa jabatannya, Mahathir harus menyerahkan tampuk kepemimpinan sebagai PM kepada Anwar Ibrahim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun