Mohon tunggu...
HORUS LIN K.
HORUS LIN K. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ayo, Nulis!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malaikat Minggu Pagi

2 Januari 2023   13:49 Diperbarui: 2 Januari 2023   13:56 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gadis itu terpaku cukup lama, lantas tersipu malu. Anggukan darinya menjadi isyarat yang membuat anak-anak panti bersorak riang. "Hore! Hore!"

Pagi itu jadi awal pertemuan keduanya. Momen kebersamaan sang putri dan pangeran disaksikan ribuan pasang mata. Embun pagi yang dingin menguap sebab kehangatan hati yang saling bersinggungan. Tanpa sadar benang merah mulai terjalin, merekatkan keduanya dalam satu kata ajaib. Cinta.

Minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Waktu berjalan begitu cepat. Tujuh tahun berlalu begitu saja. Gadis itu tumbuh menjadi seorang dokter bertangan dingin. Ratusan nyawa tertolong berkat kepiawaiannya. Lain hal dengan si gadis. Anak laki-laki itu tumbuh menjadi seorang pembunuh bayaran. Hatinya dingin, persis mirip ayahnya. Ribuan nyawa terenggut oleh tangannya.

Namun, tak ada yang berubah dari pentas itu. Latar belakang mereka yang saling bertolak tak jadi penghalang. Setiap minggu pagi, ratusan pasang tangan bertemu di udara, bersorakan. Udara dingin pagi hari digantikan hangatnya tatapan kagum.  Kisah mereka di atas pentas bertransformasi menjadi legenda. Hingga suatu minggu pagi, gadis itu tak muncul lagi di alun-alun kota.

Pagi itu sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Udara dingin menusuk tulang. Cahaya samar rembulan perlahan redup. Kicauan burung-burung yang mulai meninggalkan sarang. Pemuda itu sudah menunggu selama sepuluh menit, menatap pentas yang kosong melompong. Para penonton mulai berdatangan. Tak sekali pun anak-anak panti dan gadis itu datang terlambat. Langkah seribu tak terasa baginya sebab cemas. Ia bergegas menuju panti.

Sesampainya di sana, berita duka menghampiri si pemuda. Kabar kematian si gadis mengalun sedih melalui mulut sang pengasuh panti. Gadis itu meregang nyawa saat menjadi tim medis di daerah konflik. Pemuda itu termenung. Kilau di matanya sudah menghilang pergi. Perasaannya campur aduk. Bahkan kakinya yang kekar mulai gemetar, tak sanggup menahan bobot tubuh. Ia jatuh berlutut.

Apa yang harus kulakukan? batin si pemuda dalam hati.

Tangannya memainkan belati perak pemberian ayahnya. Semilir angin berembus masuk melalui jendela. Pandangan pemuda itu membayang jauh ke balik-balik awan putih.

Aku akan menyusulmu!

Di saat tekad pemuda itu sudah bulat. Belati yang menempel di lehernya tak mau bergerak. Ia tercekat. Bayangan seram yang bahkan lebih ia takutkan dari kematian melintas, menakuti pikirannya.

Bagaimana jika kami tak berada di tempat yang sama?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun