Belajar dari Guru Drona
Oleh : Nurohmat
Dalam cerita pewayangan, guru Drona adalah guru berprestasi tingkat Nasional Hastinapura. Dalam hal  pengajaran kesamaptaan,  wawasan kebangsaan, dan keprajuritan, Guru Drona tidak ada duanya. Begitu pula dalam hal keseriusan dan kesungguhan untuk menjadikan murid-muridnya menjadi yang terbaik dibidangnya, tidak perlu diragukan lagi. Sayangnya, guru Drona tak kuasa melawan jurus kibul penjeratan sang penguasa.
Guru Drona bukan guru kaleng-kaleng seperti saya. Dia sejatinya paham betul akan konsep keadilan dan kebenaran. Namun, cahaya itu seolah sirna karena hatinya sudah terjerat oleh kebaikan dan layanan istimewa yang diberikan oleh penguasa. Tidak hanya pada dirinya, melainkan juga terhadap anak semata wayangnya yaitu Aswatama yang sangat ia sayangi.Â
Hastina telah memberinya banyak hal: uang, fasilitas dan juga kehormatan. Jelas, Ia merasa berhutang budi pada Hastina, khususnya Kurawa. Meminjam istilah Pierre Bourdieu, tatanan kekuasaan ekonomi dan politik Kurawa telah meluluhlantakkan otonomi intelektual Guru Drona.
Oleh karenanya ketika terjadi perbuatan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pihak Kurawa terhadap Pandawa. Ia tak mampu melepaskan diri dari jurus kibul penjeratan bala Kurawa. Alhasil, ia lebih memilih untuk membalas budi ketimbang mengikuti jalan pengetahuannya. Ia lebih memilih diam, bahkan membela sampai titik darah penghabisan apa yang dilakukan Kurawa meski menjelang kematiannya, ia sadar bahwa masa depan hidupnya sudah tidak bisa diharapkan lagi.
Belajar dari Guru Drona, bila ditarik kondisi kekinian, jelas-jelas penetrasi uang, kebaikan, dan kehormatan dapat menjadikan intelektual abai akan panggilan utamanya sebagai intelektual. Penetrasi itu telah banyak membuat Sang Guru kehilangan jati dirinya sebagai guru. Mungkin saja ini terjadi pada saya, Anda, dan kita. Tapi, bagaimanapun juga, saya banyak belajar dari Guru Drona.
Cirebon, 12 Agustus 2020