Bernalar atas Peristiwa
Oleh : Nurohmat
Kemarin, menjelang bubaran anak sekolah, sekolah kami dihampiri oleh delapan orang pemuda kampung yang kelihatannya agak mabuk, sejauhmana tingkat mabuknya saya tidak begitu paham. Tiga orang menerobos lebih dulu, dan lima orang lainnya datang belakangan. Memerahnya wajah dan mata mereka serta bau minuman keras yang keluar dari mulut salah seorang dari mereka, menguatkan dugaan saya bahwa mereka memang telah menenggak minuman keras. Mengapa mereka menggerudug ke sekolah ? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya tidak bisa menceritakannya disini.
Menjelang bubaran sekolah, biasanya pintu gerbang sekolah kami terbuka. Mereka datang dengan mengendarai sepeda motor, beberapa orang ada yang berboncengan. Seingat saya ada  sekitar lima sepeda motor. Mereka masuk tanpa permisi, nyelonong begitu saja. Pak Dadang, selaku petugas keamanan sekolah kami langsung mengejar mereka.Â
Mata saya memperhatikan  sekitar, termasuk wajah rekan-rekan guru. Tampak ketegangan dan kecemasan menyelimuti wajah mereka. Melihat seperti itu, saya  memberanikan diri  membantu pak Dadang, pikirku setidaknya ada tambahan tenaga untuk menghalau mereka. Â
Perlu diketahui, pak Satpam kami berbadan tinggi besar, istilah kampung disebut daglug ( badag, luhur, gede), mungkin untuk sekedar menghadapi dua atau tiga orang masih bisa teratasi bila terjadi pertarungan. Â Namun, faktor usia tidak bisa dibohongi, keluhan encok, sakit pinggang, dan pegal-pegal sering saya dengar bila kami nongkrong di pos satpam. Usia pak Satpam sekolah kami, sekitar empat puluh enam tahun. Jadi, soal pertarungan atau duel itu, tentu bukan pilihan yang terbaik. Bukan apa-apa, pasti akan menambah masalah dan tentunya kontraproduktif terhadap fungsi sekolah sebagai wawasan wiyatamandala.
Kembali ke pembicaraan delapan pemuda mabuk tadi. Yang tiga orang dari mereka berhasil menerobos masuk hingga ke loby sekolah, guru yang lain berhasil menghampiri dan menenangkan mereka. Lebih beruntung lagi, dua orang pak Polisi sudah berada di sekolah kami, sudah ada di loby sekolah. Membicarakan permasalahan lebih lanjut mengenai peristiwa yang terjadi sebelumya.
Namun, yang  lima orang tadi,  pak Satpam masih mencoba menghalau di parkiran sekolah. Pak Satpam berupaya menjelaskan sehalus mungkin, untuk meredam amuk mereka. Uniknya, salah seorang dari mereka adalah mantan murid saya, murid sekolah kami, yang DO, karena malas berangkat sekolah. Saya masih hafal betul namanya, ketika saya sebut namanya ketegangan mulai berkurang, suasana mulai mencair. Melihat saya pun, dia langsung menjulurkan kedua tangannya, mencium tangan saya. Melihat seperti itu, saya sangat yakin bahwa situasi pasti cepat teratasi. Dugaan saya tepat, situasi dapat dikendalikan.
Sepulang mengajar, saya melakukan refleksi atas peristiwa tersebut. Â Saya mencoba untuk mengaktivasi nalar saya, bernalar. Â Menurut Munn (1967), bernalar merupakan proses mengombinasikan pengalaman masa lalu untuk memecahkan masalah, dan bukan semata-mata reproduksi pemecahan masalah. Bernalar juga merupakan menganalisis permasalahan serta memberikan alasan. Pada konteks nalar, belum terjadi adanya benar-salah, melainkan "betul", "keliru", "sahih" atau "tidak sahih".
Saya teringat dengan pemikiran Ibnu Miskawaih, ulama yang lahir sekitar abad ke -10 M. Â Dalam pandangannya, Â sejatinya dalam jiwa manusia terdapat potensi kekuatan berpikir yang menjadi sumber pertimbangan tingkah laku, yang selalu mengarah ke kebaikan. Ibnu Miskawaih menyebutnya an nafs an nathiqah. Â Namun, disisi lain manusia juga berpotensi berperilaku buruk seperti binatang ( an nafs al bahimiyah), seperti ngamukan, marah yang berlebihan, dan sebagainya.
Melihat peristiwa yang terjadi di sekolah kami kemarin, saya mengambil pelajaran, seburuk apapun keadaan, dan setegang apapun keadaan ketika kita mampu meredam annafs al bahimiyah dan mengaktifkan an nafs annithiqah, permasalahan lebih mudah untuk diatasi. Jadi, jika anda menghadapi ketegangan situasi, cobalah untuk mengaktivasi potensi an nathiqah anda.
Cirebon, 8 Januari 2018