Mohon tunggu...
Nurmawati
Nurmawati Mohon Tunggu... Dosen - Dosen / Institut Teknologi Kalimantan

Suka menulis dan berbagi informasi apa saja. http://nurmaklaoztanadoang.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nakhoda Kedua

17 September 2022   20:16 Diperbarui: 17 September 2022   20:17 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

3 Mei 2010 adalah awal hari - hari terberat dalam hidupnya. Suami yang selama ini jadi tempat bersandar telah dipanggil yang maha kuasa. Meninggalkan lima orang anak, yang sudah pasti kebutuhan biaya hidupnya tinggi. Anak pertama sampai keempat berada diusia kuliah sedang si bungsu baru saja masuk Sekolah Menengah Pertama. Perbedaan usia keempat anaknya itu hanya 2 tahun. Hanya si bungsu yang terpaut jauh usianya. Banyak yang beranggapan kelahiran anak-anaknya sangat unik ibarat kue lapis, 3 putri dan 2 putra.

Semasa hidupnya, sang suami bekerja sebagai guru sekolah dasar. Sangat berbakat dan disegani. Banyak dijadikan panutan dalam masyarakat. Namun kembali lagi, segala sesuatunya bersifat sementara. Setelah kepergiannya, pandangan dan perlakuan masyarakat juga berbeda seolah penghargaan yang selama ini ditunjukkan ikut terbawa ke alam kubur.

Menyandang status janda beranak lima tidaklah mudah. Opini masyarakat tentang status janda seringkali tidak bersahabat. Apalagi paras Mala masih terlihat cantik dan awet muda di usianya yang sudah mendekati setengah abad. Mungkin karena Mala orang yang ceria dan murah senyum. Perawakannya juga nampak tak berlemak.

Setelah malam takziah, ketiga anaknya kembali ke kota untuk melanjutkan studi. Begitupun dengan keluarga besarnya. Tinggallah Mala ditemani kedua anaknya yang lain, Ima dan Nurul. Namun si anak bungsu, pekan depan juga sudah akan kembali ke pondok pesantren begitupun Ima yang akan kembali bekerja. Rumah yang biasanya ramai kembali hening. Masih terasa seperti mimpi bagi Mala. Suaminya yang hanya demam biasa dan masih terus ke sekolah untuk bertugas, tiba-tiba di hari ketiga telah menghembuskan nafas terakhirnya. Kehidupan yang sebelumnya berkecukupan berubah 180 derajat. Kini Mala hanya bisa mengandalkan gaji pensiunan jandanya, yang tentunya tidak seberapa jika harus membiayai kuliah anak-anaknya. Bahkan untuk uang bulanan mereka saja tidak akan cukup apalagi untuk hal lainnya. Memikirkan semua itu, Mala tidak diizinkan untuk bersedih. Tiga bulan lagi ketiga anaknya yang kuliah S1 akan membayar SPP. Begitu juga dengan anak pertamanya yang akan melanjutkan studi S2. Bagaimana caranya harus mengumpulkan uang sebanyak itu. Kesulitan ini benar benar tidak ingin kompromi dengan kesedihannya. Tanggung jawab yang diembannya kini sungguh berat. Mala tidak sanggup meminta anak-anaknya untuk berhenti kuliah apalagi suaminya juga sudah mengamanahkan demikian.

Dengan langkah gontai Mala masuk ke kamarnya. Beberapa barang-barang peninggalan suaminya masih berada dalam kamar itu. Mala sengaja menyimpannya sebagai pelepas rindu dan sumber kekuatannya. Bahkan beberapa pakaian dinas yang masih baru, sengaja dia simpan untuk anak laki-lakinya kelak. Pernah suatu sore suaminya berkelakar, kalau anak laki-lakinya pasti akan mengikuti jejaknya untuk menjadi seorang pendidik. Karena hal itu pula, Mala bertekad untuk menyimpan beberapa peninggalan suaminya itu.

Ditengah kesedihan dan pikirannya yang berkecamuk, tiba-tiba pandangan Mala teralihkan pada meja kerja sang suami. Langkahnya pun tertuju pada meja itu. Dia mulai menata buku-buku yang berserakan di atas meja tersebut. Dipandanginya satu per satu buku itu, suaminya memang sangat menyukai buku. Koleksinya tak lain hanyalah buku. Karena itu anak-anaknya juga sudah terbiasa dengan buku sejak mereka kecil, maka tak heran jika kelima anaknya selalu ranking dan mendapat beasiswa di sekolahnya. Bahkan bisa bebas tes masuk ke perguruan tinggi negeri favorit di kotanya.

Diambilnya sebuah buku catatan kecil dari laci meja suaminya. Lembar per lembar pun mulai dibuka. Matanya membola tatkala melihat catatan yang begitu rapi. Bukan karena rapinya saja, namun karena isi di dalamnya sangat terperinci. Mala mulai membolak balik lagi halaman per halaman itu dan tetap saja dia tercengang menyaksikan itu semua. Ahh... Mungkinkah suaminya punya firasat kalau tak akan berumur panjang? Kenapa seolah semuanya sudah dipersiapkan dengan matang.

Dadanya kembali terasa sesak, bahkan hujan dimatanya tak terbendung lagi. Sesayang itukah suaminya kepadanya?? "Baiklah suamiku, Kini aku tahu harus melakukan apa" gumamnya dalam hati.

Dari catatan kecil itu, kini Mala tahu alasan suaminya tidak mengizinkan anak-anaknya berhenti sekolah. Ternyata pola pikir suaminya yang sangat berbeda dengan suami-suami kebanyakan di kampungnya itu tertuang disana. Walaupun sebenarnya Mala juga menyadari hal itu sejak bersamanya. Yah, suaminya memang sangat memprioritaskan yang namanya pendidikan. Bahkan dalam catatannya itu, suaminya berpesan Mala boleh menjual harta peninggalannya untuk pendidikan anak-anaknya. Namun Mala bertekad akan menggunakan itu sebagai langkah terakhir.

Setelah mendapat pencerahan dari catatan peninggalan sang suami, Mala mulai menghitung kembali biaya kuliah anak-anaknya. Anak kedua dan ketiga sudah semester 6, anak keempat semester 2, dan anak pertama akan segera masuk pada program pasca sarjana yang tentu biayanya jauh lebih besar. Namun prioritas Mala tentu anak-anaknya yang masih program S1. Dari catatan itu pula Mala tahu, anak-anaknya diberikan toleransi maksimal 5 tahun untuk menyelesaikan program kuliah S1 dan 3 tahun untuk program Magister (S2) selama anaknya belum berumah tangga. Artinya Mala tetap harus turut andil membiayai kuliah anak-anaknya, sekiranya mereka sampai molor dari jadwal yang seharusnya. Maka estimasi dari perhitungan biaya kuliah pun harus sesuai dengan toleransi tersebut.

Mala sangat mengerti toleransi yang diberikan oleh almarhum suaminya itu kepada anak-anaknya. Selama ini anak-anaknya tidak ada yang neko-neko namun mereka paham bahwa situasi kampus sangat berbeda dengan level SMA. Tantangannya jauh lebih banyak. Selain itu, kelulusan universitas tidak hanya bergantung pada kecerdasan IQ namun banyak faktor lain yang berpengaruh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun