Azaliaku is calling ...
Aku mengernyit heran ketika mataku tanpa sengaja melihat notifikasi di ponsel suamiku. Selama menikah hampir dua bulan ini, aku memang belum begitu mengenal tentang orang-orang terdekatnya, terutama tentang teman-teman perempuannya. Maka dari itu, saat ada nama kontak 'Azaliaku' memanggil berulang kali, pikiranku berkecamuk. Ada rasa tak mengenakkan bergemuruh dalam dada.
Aku dan suamiku---Amir Ibrahim, atau yang biasa kusapa Mas Amir, menikah dari hasil perjodohan. Ibuku mengenalkanku pada anak dari salah satu kenalannya. Kala itu, aku benar-benar tidak bisa menolak. Apa lagi, umurku sudah lebih dari tiga puluh tahun, yang menurut pandangan orang-orang di desaku sudah dianggap sebagai perawan tua.
"Mau sampai umur berapa baru mau nikah, Nduk? Bahkan, teman SD kamu saja sudah pada punya anak. Mumpung Ibu masih ada. Mau, ya, sama pilihan Ibu kali ini?"
Kata-kata Ibu waktu itu berhasil menyentuh hatiku. Mungkin, hanya itu satu-satunya cara agar aku bisa membahagiakan Ibu, yang telah merawatku dengan baik selama ini, meski tanpa ayahku.
Ya, semua ini demi Ibu. Aku membatin.
Aku percaya bahwa pilihan ibuku adalah yang terbaik. Sampai detik ini pun, aku merasa begitu. Meski bukan orang yang ekspresif, tetapi Mas Amir memperlakukanku dengan baik. Namun, sepertinya pemikiran positif dalam diriku harus hancur berkeping-keping saat tanpa sengaja kubaca pesan dari seseorang yang sedari tadi membuatku penasaran.
Azaliaku: Sayang, kangen kamu. Ke mana aja, sih?
Tanganku kian gemetar selepas melihat pop up di ponsel Mas Amir lagi.
Azaliaku:Â Nggak mau respons, nih. Ah, ada istrimu, kah?