"Tapi Ma, aku bukan Siti Nurbaya."
"Ah terserah kamulah. Mama papa semakin tua. Mama hanya ingin melihatmu mempunyai suami!"
"Tapi, Ma. Pak Purnomo seorang duda. Punya anak, lagi. Mama tega melihat aku tidak bahagia?"
Ya Tuhan, kata Adiz dalam hati, apa salah dirinya. Sebegitu besarnyakah dosa atau kutukan yang harus ditanggungnya sehingga harus menerima kenyataan pahit setiap kali mendapat undangan pernikahan dari teman-temannya. Atau kadang dari orang yang lebih muda darinya. Dan kini mamanya menyodorkan Pak Purnomo yang sudah empat puluh tahun kepadanya. Dalam hati Adiz menangis.
"Adiz, Pak Pur itu baik. Taat. Mapan lagi. Apa salahnya menikah dengan duda?"
Hati Adiz tak menentu melihat kekerasan hati yang mama tunjukkan. Adiz sangat kecewa mama tak mau mengerti perasaannya.Â
Sudah sebulan sejak kejadian lamaran itu dan mama setiap hari membahasnya.Â
Hatinya masih terus bergemuruh setiap ingat peristiwa itu. Beberapa baju dan cincin sudah terlanjur diberikan dan mama masih menyimpannya.
"Saya ikhlas Bu. Meski lamaran saya ditolak, semua itu saya berikan kepada Adiz dengan suka rela. Maafkan saya jika sudah lancang melamar anak Ibu," ucap Pak Pur yang dia intip dari balik gorden pintu .
Entah ke mana dia setelah mendapat kepastian tentang penolakan Adiz. Mungkin sudah menikah dengan wanita lain. Tapi rupanya belum. Ia masih menunggu keputusan mama. Buktinya hari ini mama mengingatkan lagi tentang pinangan itu.
"Mama tidak malu menikahkan aku dengan seorang duda? Apa kata teman-teman, Ma?"