Mohon tunggu...
Nur Jannah
Nur Jannah Mohon Tunggu... Guru - Guru Penulis

Hobi membaca fenomena dan menulis alam, memasak, travelling dan merencanakan masa depan anak negeri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kutitip Kejora di Tepi Fajar

26 Februari 2023   06:33 Diperbarui: 26 Februari 2023   06:48 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Baru saja matahari bangun dari peraduan. Cahayanya putih dan hangat. Namun belum mampu mengeringkan kedua bola mata seorang ibu yang masih basah bekas menangis semalam.

"Bu, barusan Lana pendarahan lagi," suara Rinto---Bapak Lana---lewat handphone jadul yang mereka punya.

"Pendarahan lagi?" sahutnya lemas. "Berarti ini sudah yang ke tujuh, Pak?"

Mengingat buah hatinya yang saat ini tengah terbaring di rumah sakit, hati wanita itu bagai diiris. Sudah tujuh tahun putrinya mengidap tumor ganas. Virus itu betah mengendap di perut Lana bertahun-tahun hingga beranak pinak. Membentuk gundukan besar di perut.

"Ya, begitulah. Mau bagaimana lagi?" sahut suaminya.

Dulu, biaya operasi sangat mahal sehingga keluarga miskin itu tak sanggup membayarnya. Beruntung sekarang bisa mengurus surat-surat supaya biaya perawatan ditanggung pemerintah.

Walaupun obat yang diterimanya adalah jenis generik, artinya bukan obat paten. Obat dengan kualitas nomor ke sekian. Tapi sebenarnya itu jauh lebih baik ketimbang tak mendapat obat sama sekali. Namun tetap saja sang kejora dalam keadaan kritis terus menerus.

"Cepat datang," tutup Rinto dari sana.

"I-iya ...," jawab Miranti buru-buru.

Ia jalan bergegas. Semilir angin sejenak membakar pipinya. Tas besar di bahu perempuan bertubuh kurus dan wajah letih itu hampir melorot. Tas itu berisi surat-surat penting dan fotokopian lembar-lembar yang dibutuhkan untuk perawatan. KTP, Kartu Keluarga, surat rawat inap, resep dokter, dan lain-lain.

Bocah laki-laki yang dituntunnya ikut berjalan cepat-cepat mengiringi langkah ibu. Ia tak mau bicara banyak. Sebab tahu, kalau rewel maka ibunya akan marah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun