Mohon tunggu...
Nur Janah Alsharafi
Nur Janah Alsharafi Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang ibu yang menyulam kata dan rasa dalam cerita

ibu 4 anak dengan sejumlah aktivitas . Tulisan-tulisan ini didokumentasikan di blog saya : nurjanahpsikodista.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kolak Terakhir (Sebuah Cerpen oleh Nur Janah AlSharafi)

9 Juni 2017   15:38 Diperbarui: 9 Juni 2017   15:52 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 Pohon pisang kepok itu ada sejak aku lahir , kabarnya nenek buyutku yang hobi menanam pisang, kelapa, mangga, jambu dan beberapa pohon lainnya yang hasilnya bisa dimanfaatkan untuk keperluan dapur. Pisang dan kelapa khususnya, serasa pohon wajib bagi nenek buyut yang menurun ke nenek kemudian ke ibuku. Ibuku juga tak tahu persis mengapa dan kapan dimulai, tapi jelasnya tradisi memasak kolak pisang setiap ahad sore adalah tradisi turun temurun yang rasanya haram untuk dilawan. Lebih haram lagi dilawan karena ini tidak hanya berurusan dengan lidah dan perut, namun lebih berurusan dengan urusan sosial dan spiritual. 

Kolak pisang, hanya kolak pisang yaitu pisang kepok ditambah santan ditambah gula merah dan dicampur sedikit gula pasir serta pandan. Itu saja ? ya memang itu saja. Tapi 20 rumah tetangga di kiri kanan depan belakang rumah kami telah terbiasa menikmatinya setiap ahad sore. Kolak yang dimasak oleh ibu sejak bakda zuhur, akan beredar di rumah tetangga di bakda ashar. Itulah silaturrahmi indah yang dirajut sejak nenek buyutku hingga generasi ibu.

 "Mar, kamu adalah anak perempuan ibu satu-satunya. Ibu harap kamu melanjutkan tradisi perempuan pendahulu di keluarga kita" tegas ibu di sore awal ramadhan ini. Awalnya aku tidak terlalu serius mendengar petitah dan petitih ibu, namun melihat tekanan suara dan nada yang diucapkannya mau tak mau aku harus rela meletakkan novel yang tengah kubaca. Aku jadi diam dan takzim melumat setiap kata yang meluncur dari mulut ibu. Persoalan kolak, melanjutkan tradisi merajut silaturrahmi dan melanjutkan tradisi sedekah menjadi bingkai pembahasan ibu tentang makna semangkuk kolak. Ibu Hajjah Alfiah, begitu orang-orang memanggil ibu. 

Ibu seorang perempuan yang tangguh. Sejak berpisah dengan ayah lebih kurang 20 tahun yang lalu, ibu memilih hidup sendiri membesarkan kami bertiga putra putrinya. Aku , Maria anak tertua , calon sarjana politik yang terperangkap dalam hobi dan pekerjaan seni peran. Kedua adik laki-laki ku Bagja dan Bahagia, si kembar yang tengah kuliah di tahun pertama fakultas teknik elektro. Kadang aku merasa khawatir apakah aku mampu meneruskan tradisi keluarga ini, meskipun disisi lain aku begitu optimis akan mampu memegang amanah keluarga ini. 

Optimismeku bukan tanpa alasan, karena sejak kecil aku melihat betapa pohon pisang kepok di belakang rumah senantiasa berbuah silih berganti dengan pohon pisang baru yang mudah sekali ditanam serta subur. Belum lagi beberapa batang kelapa rasanya entah kapan yang tak ada buahnya, buah kelapa itu begitu hangat bergerombol seperti tak sabar menunggu giliran dinikmati pemiliknya.

 "Itulah Mar, rezeki yang Allah swt berikan buat keluarga kita. Nikmat Allah swt berupa tanaman yang senantiasa berbuah subur. Itu semua bukan kebetulan Mar, semua sudah diatur Allah swt dan kita harus berbagi buat sesama" tegas ibu sekali lagi. "Ibu memang orang tua tunggal Mar, namun ibu diberi rahmat oleh Allah swt punya kalian anak-anak ibu yang baik dan sholeh. Ibu juga punya rumah warisan leluhur yang kita jaga bersama. Ibu juga punya ketrampilan menjahit . Biarlah kita alirkan rahmat Allah swt ini buat sekeliling kita" tutur ibu lebih dalam. "Mar , kiri kanan kita, depan belakang kita bukan semuanya orang mampu. 

Bahkan beberapa anak yatim dan dhuafa juga ada disana. Biarlah semangkuk kolak resep keluarga kita ikut dinikmati oleh mereka disamping hal lain yang bisa juga kita bagikan" sekali lagi ibu menegaskan. Penjelasan ibu ini membuatku makin paham bahwa kolak ternyata tak hanya sekedar kolak. Aku jadi lebih menghayati setiap episode pembuatan kolak sosial dan spiritual ini. Mulai memetik buah pisang, memetik kelapa, memotong pisang, memarut kelapa, memeras santan, menyisir gula merah, memotong pandan, menyendok gula pasir, menjumput sedikit garam, mengaduk di panci hingga menjadi kolak. 

Aku merasa setiap sel dari pisang kelapa gula pandan itu berbicara bernyanyi bersyukur berzikir. Entah mengapa sejak penjelasan ibu kepadaku tentang kolak ini, aku semakin semangat ketika ibu memutuskan untuk menambah frekuensi pembagian kolak ini di bulan ramadhan. Kolak-kolak ini akan berjalan mengetuk pintu silaturrahmi pada setiap hari jumat dan ahad. "Kamu mau kan mar membantu ibu memasak kolak 2 hari tiap pekan selama ramdhan ini ?" tanya ibu padaku. Aku mengangguk dan kuberikan bonus senyum terindah pada ibuku. Apalagi ramadhan ini ibu membeli mangkuk baru warna orange yang cetar untuk wadah si kolak tercinta. Kabarnya mangkuk orange tersebut ibu dapatkan di toko langganan ibu di pasar dengan harga khusus karena menyambut ramadhan.

 Dua lusin mangkuk orange bertutup indah terkesan mewah, meski isi di dalamnya tetap saja kolak pisang. "Mar, mangkuk orange ini lebih terkesan rapi dan sopan untuk menghantarkan hasil masakan kolak terbaik keluarga kita" jelas ibu sambil senyum. Sekali lagi aku jadi minat pandangi berkali-kali si mangkuk orange, untuk berusaha menafsirkan kata rapi dan sopan yang ibu sebutkan tadi. Iya benar juga kata ibu, si mangkuk orange ini memang cantik, keren, rapi dan sopan. Sudah dua ahad dan dua jumat si mangkuk orange dan kolak berjalan mengunjungi tetangga sekeliling kami. Kami penduduk kampung Bintang Barat mengunyah kolak dengan nikmat. Kami penduduk kampung Bintang Barat bermunajat pada Allah swt di ramadhan ini dengan khusyuk dan tentram. 

Namun tadi pagi, jikapun ada kolak tentu akan tumpah berserakan. Nenek, kakek, ibu, bapak, pemuda, pemudi, anak anak yang sedang mengaji tersedak diam. Ceria kampung berubah muram. Ibuku, Hajjah Alfiah ikut tercekat diam mencekam. Ada apa dengan kolak ? Ada apa dengan kampung Bintang Barat ? Penduduk Kampung Bintang Barat  yang telah lebih limapuluh tahun menghuni kampungnya, tiba-tiba tadi pagi menerima sepucuk surat dari Kantor Urusan Tanah. Kampung kita 2 pekan setelah Idul fitri harus dikosongkan, karena telah diterbitkan sertifikat untuk sebuah perusahaan konglomerat yang akan membangun apartemen mewah di lokasi ini. 

Kampung Bintang Barat dipandang kumuh untuk keindahan dan pengembangan pariwisata kota. "Mar, kita tetap memasak kolak. Barangkali ini kolak terakhir ya Mar" kata ibu dengan sendu. Saat ini aku hanya mampu usap bulir air matanya, meski tekadku harus bersuara . Suara warga kampung Bintang Barat, suara kolak, suara anak anak, suara perempuan, suara lelaki. Kolak dan keadilan bercengkrama dalam azan indah bulan ramadhan di kampung Bintang Barat. "Laa hawla wa laa quwwata illa billah " .........Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah semata-mata Batoh, 14 Ramadhan 1438 H ( jam 02.46)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun