Mohon tunggu...
Nur Janah Alsharafi
Nur Janah Alsharafi Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang ibu yang menyulam kata dan rasa dalam cerita

ibu 4 anak dengan sejumlah aktivitas . Tulisan-tulisan ini didokumentasikan di blog saya : nurjanahpsikodista.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

PANGGIL AKU "DAL" .................

20 Januari 2018   16:11 Diperbarui: 27 Juni 2023   11:32 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

             Panggil aku Dal ! . Begitu selalu kau ungkapkan ketika bertemu dengan orang baru. Namamu begitu panjang sehingga dirimu sendiri juga sudah tak ingat nama lengkapmu itu. Kartu identitas dirimu pun tertulis Dal, hanya Dal tanpa embel-embel apa-apa. Masih beruntung kamu tinggal di Nusantara, sehingga namamu dieja dalam tiga huruf yaitu huruf D, huruf A dan huruf L. Andai saja dirimu lahir di Arab sana, pasti kau akan bernasib lebih buruk karena namamu benar-benar singkat hanya 1 huruf saja Dal .

            Dal ditemani keponakannya Rani memasuki ruang praktekku. Berbaju coklat pekat dan bercelana longgar warna hitam membuat kulit Dal makin gelap saja. Hal ini sangat kontras dengan kulit Rani yang langsat kekuningan serta bersih. Sebelum Dal masuk ke ruang praktekku, Rani mohon ijin untuk masuk lebih dahulu. Ucapan salam dan perkenalan Rani denganku terasa benar sebuah basa basi saja. Rani nampak tergesa meluncurkan kalimat kalimat salam dan perkenalan, Rani nampak ingin segera menumpahkan pesan pokoknya tentang Dal pamannya.

"Bu, paman saya ini sangat takut dengan warna abu abu"

"Bu, saya mohon dengan sangat sterilkan warna ruang praktek ibu dari warna abu abu itu"

Aku turuti saja kata Rani, bagaimanapun kesembuhan Dal lebih utama dibanding persyaratan yang terkesan aneh dari Rani. Aku ingat pesan pak Murdasir, kolegaku yang beberapa kali menegaskan agar aku fokus membantu kepulihan Dal. Hal ini karena Dal adalah kunci dari sejarah kelam Kampung Sagu. Dal adalah saksi kunci, Dal sangat penting agar proses pengungkapan peristiwa "September Berdarah" terungkap dengan gamblang.

            Hampir sekotak tissue kubongkar habis untuk menutup beberapa kulit buku yang berwarna abu abu . Pasir plastik warna abu dari bunga mawar beledu  yang indah,  bahkan kacamataku juga harus kutanggalkan karena pinggiran frame nya juga berwarna abu abu. Selayaknya orang buta, Dal memejamkan mata dan nampak pasrah ketika dituntun oleh Rani menuju ruang praktekku. "Panggil saya Dal ya bu, hanya Dal, tak lebih tak kurang" . Kalimat itulah yang meluncur dari mulut seorang Dal setelah mengucapkan salam dan memasuki ruanganku.

            Mata Dal berputar melihat seisi ruangan. Kornea matanya seperti hendak mengupas satu persatu benda-benda yang ada di ruang itu sambil memastikan bahwa setiap semburat warna yang ada disana adalah warna-warna sehat buatnya. Warna yang steril dari sejarah kelam masa lalu. Warna yang sama sekali tak ada kaitannya dengan luka raga dan luka jiwanya. Setelah mata Dal berputar seisi ruang melakukan scanning, rona di wajah Dal memerah jambu. Dal tersenyum, Dal ceria , ia dengan lancar menceritakan episode demi episode hidupnya. Seperti tanpa beban nampaknya, meski sebenarnya  beban itu begitu dalam dan menghujam.

"Saya waktu itu pulang dari rantau, tiba-tiba saya ditanya apakah saya bernama Dal"

"Saya akui bu, kalau saya memang Dal"

Pengakuan Dal berbuntut panjang. Pengakuan Dal adalah permulaan skenario penyiksaan yang panjang. Raga dan jiwa Dal seperti bendera yang diruda paksa dari tiangnya. Raga dan jiwa Dal seperti bawang yang dicincang. Raga dan jiwa Dal benar-benar menjadi "tidak berharga" dihadapan para penyiksa tegap dan perkasa.

            Gambaran abu-abu warna pakaian para penyiksa itu begitu erat melekat pada memori seorang Dal. Menurutnya sesadis manusia tentu tak akan menyiksa sesamanya seperti mencincang tikus selokan. Tapi itu terjadi , Dal tak sadar diri, Dal hilang memori , Dal tertatih susuri titik demi titik realitas diri. Bagi seorang Dal, enam bulan berada di kamp penyiksaan adalah tahun terpanjang di sejarah hidupnya. Saat itu raga dan jiwanya serasa terpisah sehingga tak jarang "ia" dengan tenang menyaksikan bagaimana kebuasan dan keganasan si penyiksa itu.  Roh-nya seakan melesat keluar dari raga dan tertegun nanar menyaksikan  siksaan yang diterima raganya .  Jiwa seolah terpisah dari raga (Splitting*). Ketika raga tak sanggup memikul beban yang berlaksa , jiwapun sejenak melesat sebuah upaya selamat. Jiwa berurai air mata menatap kembarannya.  Dan jika itu terjadi, Dal lebih banyak habiskan waktunya di sudut jeruji sambil terus komat kamit berzikir dendangkan asma Allah Azza wa jalla.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun