Mohon tunggu...
Nurimania Purnama
Nurimania Purnama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Aku biasa dipanggil aim, hobi membaca novel roman, kuliner dan tidur. Bercita-cita menjadi penulis/cerpenis dan guru/dosen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senyum dari Surga

11 Mei 2023   11:15 Diperbarui: 11 Mei 2023   11:30 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inpuhttps://www.voa-islam.com/photos3/veteran___nenek__11_by_prajnadev.jpgt sumber gambar

Aku terdiam di bawah remang rembulan yang menyinari langit yang gelap. Pancaran cahayanya mengingatkan diriku akan senyum seseorang yang jauh disana, layaknya beruang putih dikutub utara, dia indah namun tidak pernah bisa aku gapai. Langkah demi langkah telah aku lalui dengan senyum dan tangis yang menghiasi. Wajah keriput itu selalu memberiku energi untuk melewati semua masalah yang sedang aku alami. Mulutnya yang tiada henti meramalkan sholawat agar dirinya selamat di akhirat nanti.

Air sebening embun itu kembali menghiasi pipi tirusnya, banyak keluh kesah yang tidak pernah ia ceritakan pada orang lain. Hinaan serta makian selalu ia dapatkan. Namun, hal itu tak menjadi penghalang baginya untuk terus berbuat kebaikan, ia selalu mengabaikan kebutuhan dirinya demi membahagiakan orang lain. Berulang kali anak-anaknya memberikan nasihat, namun jawabannya akan sama.

"Berbuatlah baik selagi kamu bisa bernafas" itulah kata-kata yang sering ia lontarkan. Hatinya tulus seperti kain putih tanpa noda.

Pagi yang cerah dengan wajah lusuh ia mendaratkan pantatnya di amperan rumah, diletakkan tongkat disamping kirinya. Aku bisa melihat sebening air yang terpendam di dalam pelupuk matanya. Dengan senyuman ia melambaikan tanyannya.

"Nak, nenek doakan suatu saat nanti kamu jadi orang yang sukses ya, ingat jangan pernah engkau sombong jikalau sudah berada di atas roda kehidupan" aku hanya bisa tertegun mendengar nasehatnya itu.

Dengan wajah lesunya ia kembali berjalan dengan kaki yang sedikit pincang, air mata ini tak bisa aku pendam, orang yang selalu menghiasi hari-hariku kini telah menua. Apakah aku bisa membahagiakannya? Hatiku tersayat dikala mendengar cerita dirinya yang selalu dihina. Dendam dalam hati menggebu dikala ia menitikkan air matanya. Namun dengan ketegarannya dia selalu berkata kalau dia baik-baik saja.

Di rumah yang begitu besar ia tinggal seorang diri, kehampaanlah yang selalu menemani malam-malamnya yang sunyi. Teman hidupnya mendahului bertemu tuhan disurga. Waktu itu aku melihat betapa dia sangat terpuruk, namun hebatnya dia masih bisa menahannya didepan anak dan cucunya.

***

Suara takbir berkumandang menelusup ruang telinga. Sepulang dari musholla aku pamit untuk merayakan hari bahagia ini dengan keluargaku di kampung sebelah. Saat itu tangannya gemetar dan dengan mata berkaca dia berhasil membuat hati ini patah untuk kesekian kalinya.

"anak dan cucuku pada kemana ya? Kenapa belum datang? Apakah mereka lupa kalau aku masih hidup" ucapnya seraya menerima uluran tanganku. Hatiku remuk mendengar petuah yang baru saja ia keluarkan. Air mataku kala itu terus mengintip di balik pelupuk, dengan berat hati aku melangkah menjauh. Aku tahu dia sangat tidak mau aku beranjak dari rumahnya.

Bersamaan dengan mesin motor menyala hujan turun begitu deras, aku urungkan niatku untuk pulang dan kembali mendekat kearah wanita yang kini sedang menatap hujan dengan sendu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun