Mohon tunggu...
Nuriah Muyassaroh
Nuriah Muyassaroh Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Penulis adalah mahasiswa Universitas Negeri Malang jurusan akuntansi yang menekuni dunia kepenulisan baik fiksi maupun non fiksi. Penulis juga berpengalaman menjadi penulis freelance di salah satu media online.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pengabdian di Tanah Pelosok

2 Februari 2019   21:50 Diperbarui: 2 Februari 2019   22:06 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bola mataku memutar ke sekeliling, terpana. Seolah aku mampu memandang dunia ini dengan sempurna. Hamparan sawah yang luas, bukit-bukit hijau yang tinggi, lembah-lembah yang dangkal, rimbunnya hutan belantara, sungai-sungai kecil yang mengalir, rapatnya pemukiman penduduk yang sederhana, bahkan aku bisa melihat gunung dengan jelas. Lebih dekat dengan awan. Sungguh, sebuah pemandangan yang luar biasa !! Aku sangat takjub dibuatnya. 

"Hania..... hati-hati jangan terlalu menepi, nanti kamu jatuh!!!" Teriak Adev saat aku menoleh ke arahnya yang berjarak beberapa meter dariku. Tapi, kini dia berlari menghampiriku. Aku mengerutkan dahi pertanda tak paham. Namun, akhirnya aku baru sadar, jika kini aku tengah berada di ketinggian, tepatnya daerah di lereng gunung.

"Kamu ngapain? Ayo masuk ! Kita sudah telat beberapa menit. Mereka sudah menunggu di kelas!" Tegur Adev dengan suara sedikit ketus. Dia pun langsung menarik tanganku menuju ruang kelas dari sekolah mungil yang kini sedang kupijaki.

Mengapa aku menyebutnya sekolah mungil? Karena bangunannya memang kecil, lokasinya relatif sempit, jumlah siswanya juga minim dan terletak di pelosok pula. Beberapa menit yang lalu, sebelum aku bisa menginjakkan kaki di sekolah ini, aku telah merasakan betapa susahnya perjalanan yang ditempuh untuk menjangkau kota ini. 

Yah, selayang pandang aku hampir tak percaya jika telah melalui berkilo-kilo meter jalan sempit, penuh liku dan bebatuan. Jurang dan hutan adalah pemandangan akrab yang terlintas sepanjang perjalanan. Pemukiman baru kutemui di desa kecil ini.

Pantas saja, jika desa ini masih tertinggal dari desa pada umumnya. Terbukti dari bangunannya yang rata-rata sangat sederhana, penduduknya mayoritas sebatas petani belaka, dan tak ada sinyal yang menjangkau. Tak heran jika sebagian besar dari mereka tak mengenal teknologi.

***
Senyumku tersungging lebar saat memasuki ruangan yang terbagi menjadi dua kelas itu. Mereka cukup antusias menyambutku. Wajah wajah polos dan sederhana dengan pancaran cahaya penuh semangat dibalik bola matanya. Mereka memang hanya segelintir, dapat terhitung dengan jari. Murid kelas 5 hanya 6 anak. Dan kelas sebelah, yaitu kelas 6, dua lebih banyak dari kelas 5. Namun, keramaiannya mengalahkan 20 anak dalam sekelas. Ah... mereka semangat sekali. Aku terharu.

"Selamat pagi, Adik-adik....."Sapaku pertama kali saat berdiri di hadapan mereka berenam. Mereka duduk berpasangan dengan rapi membentuk huruf U. Dan aku berdiri di tengah-tengahnya, sedangkan Adev, partner mengajarku, berdiri di belakang mereka dan menghadapku.

"Pagi, kak....."seru mereka dengan semangat. Wajah-wajah berseri itu menyunggingkan senyum dengan lebar. Sangat antusias.

"Perkenalan dulu ya, kan kakak yang akan mengajar kalian hari ini. Jadi kalau tak kenal, maka tak......." sengajaku menggantungkan agar mereka melanjutkan peribahasa yang sudah sangat akrab ditelinga itu.

"Tak tahu, Kak..."Sahut Dimas, salah satu siswa dari dua laki-laki di kelas 5 ini, yang menurut gosip dari kakak tingkat yang berpengalaman mengajar disini, dia murid paling nakal. Serentak seketika tawa mendengar jawaban Dimas yang asal itu.

"Apa hubungannya sama tahu? Tahu itu makanan, Dimas," Tanggap Adev tak serius. Lalu ikut tertawa melihat ekspresi Dimas yang kebingungan. Oh ya, sebelum memulai pelajaran, aku dan Adev sudah membagikan name tag agar mereka menuliskan nama dengan menempelkannya di dada. Sehingga kami lebih mudah mengenali satu per satu dari mereka.

"Ih, Dimas makanan mulu pikirannya, Kak," Sela Cahyo, siswa yang duduk berpasangan dengan Dimas dan memiliki postur tubuh yang berbanding terbalik dengannya. Cahyo lebih mungil daripada Dimas yang berbadan besar dan kekar, tapi kenakalannya tak jauh beda.

"Lapar belum sarapan, Kak. Aku beli makan dulu ya, Kak," sahut lagi Dimas yang nekad beranjak berdiri untuk keluar kelas. Tapi, Adev menarik tangannya lebih dulu dan menyeretnya duduk kembali.

"Kalau sudah masuk kelas, kita tidak boleh makan. Karena ada waktunya sendiri, yaitu istirahat nanti. Baik, ya.. kakak langsung perkenalan diri saja. Perkenalkan nama kakak, Hania Fatma, bisa kalian panggil Kak Hania. Ayo coba sapa kakak....."

"Halo kak Hania....."sapa mereka serentak dengan memanggil namaku. Entahlah, seperti ada rasa bahagia saat mendengarnya.

"Kalau kakak yang laki-laki ini siapa, Kak?" Tanya Nia, salah satu siswi yang duduk bersebelahan dengan bangku Dimas dan Cahyo.

"Ngapain sih, kamu tanya-tanya, kamu naksir sama kakaknya ya?" Dimas kembali menyela, anak yang satu ini memang tidak pernah bisa diam.

"Ciyeee... Nia," Teman-teman perempuannya sama menggodanya, Nia hanya tersenyum dan tersipu malu.

"Heh, Nia. Kamu itu jelek, kakaknya nggak mungkin mau sama kamu," sahut Dimas dengan kasar tanpa peduli Nia akan sakit hati atau tidak karena celaannya itu.

"Ih, Nia kebanyakan nonton film, Kak. Nggak pernah belajar.... huuuuuuu," Cahyo tak mau ketinggalan menyerang Nia. Wajah Nia berubah cemberut dan memalingkan wajahnya.

Adev pun beralih posisi ke depan kelas sambil tersenyum lebar melihat tingkahnya. Malah sepertinya dia berusaha memendam tawa.

"Adik-adik, kalian tidak boleh seperti itu. Kan wajar, kalau ada teman kalian yang tanya nama guru yang akan mengajar kalian. Kakak juga mengajar loh di sini, nggak cuma jalan-jalan, " Jelas Adev dengan sabar, dia memang tipikal demikian.

"Emang siapa namanya, Kak..." Nia kembali menyahut tak sabar.

"Hehhh.., mulutmu bisa diam nggak sih!!! Cerewet banget jadi cewek!!!"
Dimas yang greget melihat Nia langsung membentaknya dengan mata melotot bahkan hampir saja menarik rambutnya. Tapi beruntungnya, Adev langsung bergerak cepat mencegahnya.

"Sudah-sudah, kalian nggak boleh bertengkar seperti itu. Hargai teman kalian yang bertanya, Oke kakak perkenalkan diri. Nama kakak, Adev Ramadan. Bisa kalian panggil, Kak Adev. Ayoo coba sekarang sapa nama kakak...."

"Hai... Kak Adev....."

Seusai perkenalan, kegiatan mengajar pun dimulai. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul setengah 9 pagi. Perkenalan yang memakan waktu lama. Tapi, cukup menyenangkan. Masing-masing dari mereka langsung mengeluarkan buku tulis tanpa diminta, sepertinya mereka benar-benar semangat memulai pelajaran.

"Ayo, sekarang kita mulai belajar bersama. Kakak ingin mengajar pelajaran bahasa inggris kali ini," Ujarku. Lalu posisiku digantikan oleh Adev, dan aku menulis materi di papan tulis.

"Yah, aku nggak suka bahasa inggris, Kak. Susah," Dimas kembali bersuara. Sedang yang lain, sudah menulis dibuku masing-masing tanpa banyak komentar.

"Loh kok gitu, kalian nggak suka karena kalian belum bisa. Makanya kalian harus belajar biar bisa. Bahasa inggris itu menyenangkan loh," hibur Adev yang mencoba mengisi keheningan agar sampai beralih konsentrasi dengan kelas sebelah.

"Kakaknya aja bisa, jadi bilang menyenangkan," Gerutu Dimas sambil menulis.

Setelah selesai, mereka kuajari untuk membaca kosakata yang kutuliskan beserta artinya secara bersama-sama hingga tiga kali. Untuk memudahkan hafalan, mereka juga kami ajari menyanyikan lagu materi hasil adaptasi lagu anak-anak yang telah kubuat dengan Adev. Dan bersyukurlah, membuahkan hasil. Mereka suka dengan lagu itu, dan selalu mereka ulangi setiap ada pertanyaan acak yang kami lontarkan.

"Teetttttt...." Jam istirahat berbunyi pertanda pelajaran sesi pertama telah selesai.

***

"Kak Adev.. kita mau buat apa sekarang, Kak,"Teriak Nia yang sangat suka memanggil nama Adev. Sedang yang lain hanya nyengir melihat tingkah Nia yang seolah berusaha menarik perhatian Adev. Apalagi Dimas, terlihat jelas bahwa ia sangat geram dengan tingkah Nia. Aku ingin tertawa rasanya.

"Jadi  sekarang kita mau membuat kerajinan tangan yaitu vas bunga dari botol aqua. Ini kita sudah menyiapkan botolnya kalian tinggal menghias yaa...."

Aku dan Adev mulai membagi botol dan potongan daun untuk hiasan secara merata. Tak lupa beberapa peralatan yang dibutuhkan, secara isolasi, gunting, dan lainnya. Awalnya, mereka kami ajari terlebih dahulu bagaimana menempelkan susunan daun yang sesuai dengan vas yang sudah jadi. Sengaja kami membuat terlebih dahulu agar memudahkan mereka.

Dengan semangat, mereka pun mulai berkreasi. Sempat terjadi pertengkaran antara Dimas, Cahyo dan beberapa teman perempuannya. Mereka merebut dedaunan bagian yang lain dengan paksa karena milik mereka habis terlebih dahulu. Kekacauan pun terjadi.

"Kak, daun punyaku diambil Dimas sama Cahyo, Kak,"Rengek Sella dengan sebal. Bola matanya mulai berkaca-kaca.

"Punyaku juga, Kak. Isolasinya dipakai sendiri sama mereka, Kak," Sahut Nia yang juga menjadi korban dari kejailan mereka berdua.
Sedang Cahyo dan Dimas malah asyik sendiri menghias vas bunganya, seakan tak punya dosa.

Aku menghela nafas, kurasa lelah meladeni mereka berdua. Kubiarkan Adev yang bertindak, mereka lebih akrab dan patuh patuh padanya.

"Dimas, Cahyo, isolasinya dikasihkan temannya juga ya, nanti kalau mereka nggak selesai gimana? Ayo.. dibagi yaa..." bujuk Adev dengan halus.
Dimas seketika langsung melempar isolasi dengan kasar pada wajah Nia. Begitu pun dengan Cahyo, ia menyerahkan seluruh dedaunannya dengan wajah kesal. Tapi sebenarnya, mereka bersedia menyerahkan karena miliknya telah selesai. Huffttt.....

"Ih manja banget sih, kamu. Dikit-dikit lapor. Nih isolasinya habisin semua. Makan aja sekalian," bentak Dimas dengan mata melotot. Lalu keluar ruangan dengan diikuti Cahyo di belakangnya.

"Eh kalian mau ke manaa.....??" Panggilku. Namun, tidak digubris. Aku memberi isyarat pada Adev untuk mengikutinya keluar. Adev pun segera bergerak cepat. Aku beralih membantu yang perempuan menyelesaikan kerajinan mereka. Namun, setelah selesai, mereka justru ikut keluar mengikuti Dimas, Cahyo dan Adev yang tak kunjung kembali ke kelas. Aku memejamkan mata sesaat, berusaha menahan amarah. Aku juga sempat kesal mengapa Adev justru ikut tak berhasil mengajak mereka kembali masuk.

Beberapa menit kemudian, Adev muncul. Sepertinya dia mampu membaca kegelisahanku.

"Tenang, mereka sedang menghias vas bunganya. Di depan kelas, banyak bunga dan tanaman lain yang bisa mereka buat tambahan hiasan. Hasilnya bagus sekali. Di luar ekspektasi kita..."Ujarnya menghibur.

Ternyata benar, mereka kembali ke kelas dengan membawa vas bunga hasil kreasi mereka. Sesuai dengan perkataan Adev, vas bunga mereka jauh lebih cantik. Aku sungguh tak menduga mereka bisa kreatif seperti itu.

"Kak Haniaa.... lihat punyaku....."Panggil Nia dengan memperlihatkan hasil kreasinya. Begitu pun dengan yang lain.

"Wah.. bagus bagus sekali.... kalian kreatif. Kerajinannya bisa kalian bawa pulang ya, kalian tunjukkan sama orang tua kalian kalau ini hasil karya kalian."

Mereka pun bersorak dengan riang. Kegiatan belajar mengajar pun ditutup dengan doa. Hari ini tak terasa berlalu begitu saja. Melewati hari bersama mereka sungguh sangat menyenangkan walaupun sedikit menguras kesabaran. Namun, yang membuatku bahagia adalah mereka memiliki semangat tinggi untuk belajar meski di sekolah mungil seperti ini, yang jauh dari perhatian pemerintah.

"Sampai ketemu minggu depan Kak Hania dan kak Adev..."

***

Kehidupan selalu menyibakkan makna. Penuh misteri dan teka-teki yang sama sekali tak mampu diprediksi. Sebagaimana aku yang sama sekali tak mengira jika akan pengabdian di tempat terpelosok seperti ini? Dengan keadaan sekolah dan anak-anak yang memperihatinkan.

Bagaimana tidak? Sekolah ini hanya terdiri dari satu bangunan yang terletak di sepetak tanah yang lebih tinggi dari pemukiman penduduk. Hanya dibatasi pagar yang mengelilingi. Di luar pagar, tanah jauh lebih rendah dengan jalur menurun. Berhimpitan dengan sawah yang seolah berada di dalam jurang.Tentu ini sangat membahayakan. Ditambah mereka tipikal anak-anak hiperaktif.

Namun, yang membuatku bersyukur. Sekolah mungil itu memiliki seorang kepala sekolah yang sangat totalitas, jiwa pengabdiannya sangat tinggi. Beliaulah yang membangun sekolah mungil ini hingga keadaannya jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

Dan pembangunan itu menggunakan uang pribadi dan sumbangan tenaga dari warga yang bersedia membantu. Beliau sama sekali tak mengharap apapun kecuali sekolah ini bisa menjadi tempat belajar yang nyaman bagi anak-anak sekitar. Aku sungguh terharu mendengarnya.

Yang membuatku bersyukur lagi, adalah anak-anak yang memiliki semangat tinggi dalam belajar. Walaupun jika diukur secara kemampuan mereka lebih rendah dari sekolah pada umumnya. Materi yang diajarkan sebenarnya tak sesuai dengan kurikulum yang diberlakukan di sekolah formal lainnya. Namun, minimal semangat itulah yang menjadi bekal sehingga mereka memiliki tekad untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, meskipun di daerahnya sama sekali tidak mendukung.

Itulah setitik harapan dari benakku untuk pendidikan di negeri ini. Semoga semangat belajat itu selalu menyala dan tak pernah surut di hati mereka. Hingga kelak mereka kembali dan mampu memajukan daerah mereka sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun