Mohon tunggu...
Nurhidayah SPd
Nurhidayah SPd Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 21 Bandung

Menulis bisa mengubah dunia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pesantren untuk Ayah

20 Januari 2023   19:11 Diperbarui: 20 Januari 2023   19:39 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Di sana itu santri-santri ayahmu yang sedang mencari ilmu di sini. Namun ternyata Gusti Allah lebih sayang pada ayahmu. Tapi yang meneruskan pesantren ini bukanlah anak-anak ayah. Kalian sekarang masih kecil-kecil, belum ada yang berpikir ke arah sana. 

Namun apa kamu berpikir, Nak, jika suatu hari nanti amang-amang yang mengajar sekarang pergi dan membangun pesantren sendiri. Siapakah yang akan meneruskan perjuangan ayahmu. Apakah tempat ini hanya tinggal nama, Nak? Mungkin kamulah yang harus berpikir bagaimana pesantren ini bisa tetap ada, Nak!” Ucap ibuku.

Mendengar penjelasan ibu tersentak hatiku. Alam bawah sadar seakan menampar pikiran kanak-kanakku. Apa yang dikatakan ibu bukanlah bualan semata, namun itulah yang menjadi tanggung jawabku. Adik-adikku yang masih kecil takkan mungkin memikul keinginan ayah dan ibu.

“Dimulai dari manakah, Bu aku harus belajar?” Ujarku.

“Yakinkah kau akan belajar dengan sungguh-sungguh?” tanya ibu.

“Lillahita’ala aku yakin, Bu. Sungguh aku tak ingin ayah menangis di sana melihat perjuangannya hilang.”

“Sekarang pergilah kau ke Mamakmu, belajarlah kau di sana sampai ilmumu tinggi.”

Ku pergi dengan membawa harapan orang tuaku. Belajarlah aku di tempat Mamak. Anak lain meneruskan sekolah ke SMP, aku meneruskan ke madrasah. Walau rumahku di kampung, namun banyak anak-anak seumuranku yang  meneruskan sekolahnya ke SMP bukan ke madrasah. Ku tetapkan hati untuk mencari ilmu meneruskan perjuangan ayahku.

Enam tahun sudah aku belajar di pesantren Mamak. Aku belajar banyak mengenai ilmu agama dan kehidupan. Hanya di pesantrenlah aku belajar kuat dan mandiri. Tak patah arang menempuh malam dingin, tak patah arang menahan kantuk, tak patah arang menahan lapar. Di sini kami belajar kemandirian, kebersamaan, dan kasih sayang. Nabi kami yang mengajarkan umat-Nya untuk bersahaja, berkasih-kasihan terhadap sesama.

“Arief, sudahlah kau belajar dengan Mamak. Kau anak pintar, sehingga enam tahun adalah waktu yang cukup untuk kau mengamalkan ilmumu.” Mamak berkata.

“Terima kasih, Mamak. Ilmu yang kudapat ini tentunya akan ku amalkan dengan sebaik-baiknya untuk bekal kehidupan.” Jawabku pelan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun