Mohon tunggu...
Nur Hayati
Nur Hayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Keperawatan Universitas Airlangga

ENTP-A

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Faktor dan Pengaruh Budaya Patriarki terhadap Implementasi SDGs Poin 5

9 Juni 2022   08:09 Diperbarui: 9 Juni 2022   09:32 1300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1.1 Hal pertama yang terlintas saat mendengar (Dokpri)

PENDAHULUAN

Tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals, disingkat SDGs merupakan kelanjutan dari tujuan pembangunan milenium atau MDGs (Millennium Development Goals) dan telah disepakati oleh para pemimpin bangsa dari 189 negara di dunia. Tujuan pembangunan berkelanjutan ini diterbitkan pada tanggal 21 Oktober 2015 sebagai ambisi pembangunan bersama hingga tahun 2030 mendatang. SDGs dalam agendanya memiliki 17 tujuan dan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah ditentukan oleh PBB dalam rangka pembangunan untuk keselamatan manusia dan planet bumi. 

Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan merupakan tujuan kelima dari SDGs dengan beberapa targetnya diantaranya yaitu : mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap semua perempuan, menghapus segala bentuk kekerasan serta memastikan bahwa semua perempuan dapat berpartisipasi penuh dan mendapat kesempatan yang sama untuk kepemimpinan pada semua level pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi dan publik. Dalam hal ini, kesetaraan gender sangat penting bagi pembangunan suatu negara. Adanya kesetaraan gender secara menyeluruh akan membuat tingkat kemiskinan suatu negara mengalami penurunan, selain itu negara juga dapat berkembang maju dan lebih unggul dalam berbagai bidang.

Kata "gender" sudah tak asing lagi di sebagian besar telinga masyarakat, namun masih banyak dari mereka yang masih salah dalam mengartikan kata gender. Kerap kali gender dihubungkan dengan jenis kelamin serta dianggap memiliki sifat mutlak dan tidak bisa diubah. Padahal gender dan jenis kelamin merupakan dua hal yang berbeda. Jenis kelamin atau seks merupakan perbedaan biologis antara laki-laki  dan perempuan. 

Perbedaan biologis tersebut dapat dilihat dari alat kelamin serta perbedaan genetik. Seks terbentuk sejak lahir, tidak dapat dipertukarkan dan merupakan ciptaan tuhan (kodrati). Sedangkan gender merupakan pembagian peran, sifat, fungsi, identitas serta tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil dari konstruksi sosial budaya yang tertanam melalui proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Singkatnya, gender merupakan karakteristik antara laki-laki dan perempuan ditentukan oleh masyarakat, memiliki sifat dapat berubah , dapat dipertukarkan bergantung waktu dan budaya serta tidak berhubungan dengan jenis kelamin secara biologis.

Kesalahan dalam mengartikan gender dan jenis kelamin (seks) ini menimbulkan kesenjangan gender dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Meskipun angka kesetaraan gender di Indonesia semakin meningkat, namun bukan berarti dalam penerapannya sudah benar-benar mencapai target yang diinginkan. Stigma negatif dan perlakuan tidak adil dari masyarakat masih sering dialami oleh kaum perempuan khususnya di negeri kita tercinta, Indonesia. Fenomena ini terjadi karena adanya penerapan budaya patriarki yang masih berkembang di Indonesia. 

Budaya patriarki merupakan budaya yang memiliki pandangan bahwa laki-laki memiliki kekuatan lebih diatas perempuan dalam berbagai bidang seperti dalam aspek politik, aspek pendidikan, aspek lingkungan pekerjaan, dan sebagainya. Pandangan ini ditanamkan secara terus menerus dan dalam waktu yang lama sehingga meresap menjadi budaya, di mana masyarakat masih memegang teguh nilai-nilai mengutamakan peran laki-laki dalam berbagai hal sehingga mengakibatkan keterbatasan akses dan kesempatan bagi perempuan untuk maju dalam bidang-bidang tersebut.

Di Indonesia, budaya yang melihat kaum laki-laki memiliki kekuasaan ataupun kekuatan lebih di atas perempuan ini masih awet hingga di era modern saat ini. Budaya patriarki berpengaruh pada terwujud atau tidaknya tujuan SDGs poin kelima. Budaya ini merupakan salah satu penghambat kesejahteraan gender dan kesejahteraan perempuan. Adanya budaya patriarki menimbulkan perempuan rentan mengalami perilaku diskriminasi di masyarakat dan menjadi korban dari kesenjangan gender. Berdasarkan pengumpulan data milik KemenPPPA yang dikutip dari cnnindonesia.com (2021), kekerasan pada perempuan dan anak mengalami peningkatan. Tercatat ada sebanyak 26.200 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 2019 terdapat sebanyak 8.800 kasus kekerasan terhadap perempuan, kemudian di tahun 2020 sempat mengalami penurunan sebanyak 200 kasus dengan total 8.600 kasus, dan kembali mengalami peningkatan hingga bulan November 2021 di angka 8.800 kasus. Jenis kekerasan yang dialami perempuan paling banyak adalah kekerasan fisik sejumlah  39%, selain itu jenis kekerasan psikis sebanyak 29,8%, dan kekerasan seksual sebanyak 11,33%. Sedangkan kasus kekerasan pada anak di tahun 2019 tercatat sebanyak 11.057 kasus, terdapat 11.279 kasus di tahun 2020, dan sebanyak 12.566 kasus hingga bulan November 2021. Jenis kasus kekerasan pada anak yang paling banyak dialami adalah kekerasan seksual sebesar 45%, kekerasan psikis sebanyak 19%, dan kekerasan fisik sekitar 18%.

Betapa besar dampak dari budaya patriarki bagi perempuan dan kesetaraan gender. Pandangan bahwa laki-laki memiliki kuasa dan kewenangan yang lebih diatas perempuan juga menimbulkan perlakuan diskriminasi dan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT) masih banyak dialami oleh perempuan di dalam keluarganya. Dikutip dari medcom.id kasus KDRT mengalami peningkatan hingga di angka 79 persen pada bulan Maret 2021 lalu. Kasus perceraian pun dianggap oleh masyarakat terjadi karena perempuan yang menggugat perceraian ataupun diceraikan tak pandai mengurus suami atau bahkan anaknya. Padahal kenyataannya belum tentu seperti demikian. Selain itu, diskriminasi upah kerja antara laki-laki dan perempuan juga masih terjadi di beberapa tempat kerja. Perempuan sulit mendapatkan upah kerja yang layak dikarenakan budaya patriarki yang masih tertanam kuat. Peristiwa ini jelas merugikan bagi kaum perempuan yang bekerja dengan jabatan, porsi dan tenaga yang sama dengan laki-laki namun dibayar dengan upah yang lebih rendah. Bahkan hingga saat ini, kemampuan perempuan dalam memimpin di masyarakat masih saja dipandang sebelah mata dan diragukan kualitas kinerjanya.   Padahal perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berkembang, berperan serta berpartisipasi di masyarakat.

Melihat dari sejumlah data dan kenyataan yang ada, tidak dapat dipungkiri bahwa ketidakadilan gender khususnya pada kaum perempuan masih terjadi sampai saat ini. Budaya patriarki merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesenjangan gender terjadi. Diskriminasi dan stigma-stigma negatif yang terus bermunculan di masyarakat serta menjadikan perempuan sebaagai kambing hitam perlu diluruskan agar kesetaraan gender dapat terwujud secara menyeluruh.

Tulisan ini bertujuan untuk menggugah pemikiran masyarakat untuk lebih terbuka serta meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang gender agar dapat membuka jalan baru untuk terwujudnya kesetaraan gender sesuai dengan target SDGs. Selain itu, tulisan ini juga bertujuan untuk menganalisis faktor dan pengaruh budaya patriarki terhadap kesetaraan gender serta menganalisis solusi untuk mewujudkan poin kelima dari SDGs.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun