Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur, yang seharusnya menjadi proyek monumental dan transformasional untuk Indonesia, bisa dibilang lebih mirip sebuah opera sabun yang tak pernah habis. Dengan segala ambisinya untuk menciptakan kota yang menggabungkan modernitas dan alam, kenyataannya proyek ini lebih menyerupai sebuah kisah absurd yang kita saksikan dengan segelas teh hangat, senyum sinis, dan tentunya, sedikit rasa khawatir. Bagaimana bisa? Mari kita telusuri lebih dalam cerita ini.
Segala sesuatu dimulai dengan sebuah ide yang luar biasa besar. Sebuah visi untuk masa depan Indonesia yang lebih hijau, lebih bersih, dan lebih efisien. Jakarta, ibu kota yang sudah penuh sesak dengan kemacetan, polusi, dan berbagai masalah infrastruktur, dianggap tak lagi layak menjadi pusat pemerintahan negara. Dari sana, lahirlah IKN, yang dijanjikan akan menjadi smart city, forest city, dan semua jenis 'city' keren lainnya.
Saat pertama kali rencana induk IKN diperkenalkan kepada publik, semua orang terpesona. Gedung-gedung pencakar langit yang futuristik, taman-taman hijau yang luas, dan transportasi publik yang canggih disajikan dalam presentasi yang sangat meyakinkan. Semua ini tampak seperti sebuah kota di masa depan yang akan menjadi kebanggaan Indonesia. Tetapi, satu hal yang terlupakan adalah bahwa rencana tersebut masih berupa gambar di atas kertas, jauh dari kenyataan. Apakah arsitek-arsitek itu terinspirasi oleh film-film fiksi ilmiah sebelum menggambar desain-desain futuristik mereka? Atau memang ada harapan muluk yang berusaha diwujudkan dalam bentuk bangunan-bangunan besar yang cantik? Pertanyaan-pertanyaan ini tetap menggantung, sementara kita menunggu apakah semua ini akan terwujud atau hanya jadi kenangan indah di dunia maya.
Tentu saja, seperti yang sering terjadi dalam setiap proyek besar, tak semua pihak merasa senang dengan ide ini. Beberapa kelompok masyarakat mulai mengajukan pertanyaan besar mengenai dampak lingkungan yang ditimbulkan dari pembangunan IKN. Ada juga yang merasa tanah mereka akan diambil tanpa kompensasi yang adil, sementara lainnya merasa nyaman dengan status quo dan tidak suka dengan perubahan.
Protes mulai bermunculan. Aksi-aksi kreatif dan kadang-kadang aneh muncul di jalan-jalan kota, mulai dari demonstrasi damai hingga petisi online yang ditandatangani oleh jutaan orang. Bahkan, seorang aktivis sempat mencoba memeluk bulldozer sebagai bentuk protes terhadap proyek ini, meskipun tentu saja, bulldozer itu lebih besar dan lebih kuat dari pelukannya. Adegan ini seolah mengingatkan kita pada kekonyolan yang sering terjadi dalam film-film kartun seperti Tom and Jerry, di mana karakter-karakternya bertindak tanpa berpikir panjang.
Namun, meskipun protes dan aksi teatrikal ini hadir dengan berbagai macam bentuk, satu hal yang pasti adalah ketidakpuasan dan ketidakpastian yang melingkupi proyek besar ini. Masalah-masalah yang muncul di lapangan memberikan gambaran bahwa membangun sebuah kota dari nol, apalagi di tengah hutan tropis yang belum terjamah, bukanlah hal yang mudah dilakukan.
Pemerintah berusaha keras menarik perhatian para investor untuk berpartisipasi dalam proyek IKN. Berbagai insentif ditawarkan, mulai dari kemudahan perizinan hingga keringanan pajak. Para investor mulai berdatangan, melihat-lihat lokasi, dan mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum penuh harapan. Mereka berjanji akan segera menanamkan modalnya di proyek ambisius ini.
Namun, beberapa bulan berlalu, dan banyak dari investor yang sebelumnya tertarik, kini menghilang tanpa jejak. Tentu saja, banyak alasan yang bisa jadi penyebab hilangnya mereka, mulai dari ketidakpastian ekonomi hingga kesulitan teknis yang tak terduga. Atau mungkin saja mereka sadar bahwa membangun kota di tengah hutan itu lebih sulit daripada yang mereka bayangkan---bukanlah seperti membangun kastil virtual di game SimCity. Ada juga kemungkinan mereka takut dengan nyamuk malaria yang terkenal di Kalimantan. Kita bisa saja bergurau dengan mengatakan bahwa investor-investor IKN dan hantu punya kesamaan: keduanya sama-sama senang menghilang tanpa jejak.
Pembangunan IKN akhirnya dimulai. Alat-alat berat mulai meratakan hutan, pekerja dari berbagai daerah datang berbondong-bondong, dan debu beterbangan ke mana-mana. Proyek ini membawa lapangan pekerjaan baru, namun juga menghadirkan berbagai masalah baru yang tak terduga.
Harga kebutuhan pokok mulai melonjak, kemacetan terjadi di jalan-jalan yang menuju lokasi pembangunan, dan konflik sosial mulai bermunculan. Masyarakat sekitar yang awalnya berharap mendapatkan keuntungan dari pembangunan ini, kini harus berhadapan dengan kenyataan bahwa proyek sebesar ini membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka sehari-hari. Pemerintah berusaha mengatasi masalah-masalah ini, namun solusi yang diberikan tidak selalu memadai.