Mohon tunggu...
Nur Dwi Yanti
Nur Dwi Yanti Mohon Tunggu... Guru - Guru

Adakala ketika kita mencoba bersama untuk bergerak, sebagian ada yang mundur teratur. Adakala ketika kita terdiam semua bergerak...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat untuk Awan

9 Februari 2023   09:42 Diperbarui: 9 Februari 2023   09:48 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebenarnya apa yang dia harapkan dengan surat itu, namun dia terus menanti

"Surat untuk awan, awan tahukah kau bahwa baju coklat mereka senada dengan tanah. Tanah yang dipijak di bumi pertiwi. Warnanya kecoklatan dan subur, sesubur perut yang tambun. Namun penuh dengan borok di dalamnya. Apakah borok itu membusuk? Ya, membusuk yang semakin bau. Herannya tak tercium siapapun atau yang mencium pun pura-pura tidak merasakan. Kalaupun merasakan sengatan dari dampak borok itu sebagian besar tak dapat menghindar atau terlena..."

"Busuk seperti bau kotoran kerbau dan kambing di kandang, tetapi setidaknya kotoran hewan lebih baik karena digunakan untuk menyuburkan tanah yang memberi makan kita semua. Berbeda dengan manusia berbalut kain dengan lambang tanah pertiwi namun merusak seperti para penjajah rakus yang berharap kaya dengan cara mencabut nyawa dan mengerogoti seperti halnya rayap-rayap di dalam kusen dan bambu bilik rumah yang kemudian merobohkan semua."

"Dulu aku bangga dengan seragam bulukku yang berwarna coklat, kini aku malu dan kutanggalkan. Ku biarkan menua seperti aku yang semakin renta yang tidak dapat mengangkat senjata dan berteriak seperti dulu.. "Merdeka atau mati!". Kini kemerdekaan apa yang ingin kuraih. Ketika kulihat gerigi-gerigi terpancang disetiap jengkal tanah yang ditukar hanya dengan lembaran kertas tak berarti karena nilai yang rendah. Para wanita menangis palsu, dibalut wewangian yang menusuk menipu atau tertipu terjual membawa bayi-bayi haram yang dibawa dari bangunan-bangunan angkuh yang dipuja dimana harga diri sudah tidak memiliki nilai"

"Awan tahukah engkau, setiap perayaan kemerdekaan yang kudapat hanya eforia sesaat memuja pahlawan namun pahlawan itu telah luntur seperti baju batik murahan yang ku peroleh sebagai bentuk penghargaan. Bah..! Penghargaan yang kubutuhkan adalah bening jiwa yang kini telah keruh seperti kubangan tempat para kecoak bersuka cita."

Lelaki tua itu terkekeh melihat tulisannya yang naik turun, kacamatanya yang sudah patah nyaris terjatuh. Dengan hati-hati dia melipat rapi surat yang di bacanya.

Dia mencoba menyalakan lintingan tembakau dengan kertas pembungkus yang sudah menguning dan lembab karena terkena keringat di kantong baju yang sudah terlepas jahitannya.

Asap putih mengepul keluar, perlahan dia menghisap lintingan tembakau itu kemudian terbatuk-batuk. Dia duduk tegak, matanya tertuju ke pojokan jembatan yang berjarak 5 meter darinya. Tampak tumpukan kardus bekas lusuh dan karung-karung kotor berisi gelas, botol plastik yang sudah dia kumpulkan beberapa hari yang lalu. 

Dia menunggu. 

Menunggu matahari pagi yang akan muncul. Menunggu awan yang akan muncul.

Sayangnya matahari itu tidak muncul karena merasa malu oleh gedung-gedung yang menjulang  angkuh diantara perkampungan kumuh tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun