Mohon tunggu...
Nur Budi
Nur Budi Mohon Tunggu... Lainnya - Tebarkan benih kebaikan... maka akan tumbuh mekar bunga-bunga pahala...

"Dialah yg menjadikan utk kamu bumi yg mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya, dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu kembali stlh dibangkitkan" (QS Al-Mulk : 15)

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Teror Batu di Rumah Dalu

13 Maret 2021   08:40 Diperbarui: 25 Maret 2023   15:25 1889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fikar bermain di halaman rumah dinas/dokpri

Malam itu kurasakan kereta api berjalan sangat lambat. Jarum jam di tangan menunjuk angka 21.30-an. Itu artinya masih satu jam lagi baru sampai stasiun Tugu, Jogjakarta. Perjalanan dari Surabaya ke Magelang malam itu benar-benar terasa sangat lama. Terbayang kecemasan istri bersama anak-anak  yang sudah dua hari kutinggalkan untuk tugas dinas ke Surabaya.  Sepuluh menit lalu dentingan telepon tanda SMS masuk dari isteri yang kubuka isinya ; ”Smpe mn?”. Waktu itu tahun 2010, belum musim WhatsApp. Kujawab singkat juga ; “Hmpir Solo”. Tak berselang lama masuk lagi SMS; “Mas, aq takut. Di rmh terdengar lemparan batu, tdk hny sekali”. Aku mulai cemas juga dan kubalas; “Tenang aja, 2 jam lg aq smpe rmh”. Istriku di rumah bersama dua anakku, yang nomor dua -waktu itu masih usia TK- dan si bungsu yang baru mulai bisa jalan. Sedangkan anak mbarep ikut kakek neneknya dan bersekolah di Salatiga. Yang membuatku sedikit merasa tenang karena selain bersama 2 anakku, di rumah ada seorang lelaki remaja yang masih kerabat dekat berasal dari Lamongan Jawa Timur yang sejak kami tinggal di Magelang menemani kami. Namanya Inu.

Jam 22.30an kereta berhenti di stasiun Tugu. Segera bergegas turun dan setengah berlari aku menuju pintu Selatan stasiun. Kutelepon Mas Gito, driver kantor yang biasa menemaniku, untuk menanyakan posisi. Usianya masih muda, mungkin lima tahun lebih muda dariku. Setelah ketemu dan kopor masuk ke bagasi mobil, kami meluncur untuk pulang menuju Magelang. Gaya nyetir mas Gito malam itu kulihat berbeda dibanding biasanya, kali ini terasa lambat juga. Bahkan saat masuk kota Magelang, kurasakan mobil sedikit oleng. “Ngantuk Git?”, kulirik dan kutanya dia. “Enggih pak”, jawabnya yang kemudian disambung dengan permintaannya; “Ngopi riyin njih pak”. Kutolak ajakannya untuk ngopi dengan jawaban sedikit guyonan; “Emoh lah, aku selak kepingin ketemu anak-bojo je. Kene tak ganti wae nyetir-e”. Kulihat dia agak ragu dengan tawaranku untuk bertukar posisi, tapi setengah kupaksa dia menepikan mobil. Singkat cerita, aku berpindah jok untuk berganti pegang kendali kemudi. Kubiarkan mas Gito tertidur dan kuinjak pedal gas sedalam-dalamnya biar cepat sampai rumah.

Hampir jam 1 dini hari aku baru sampai rumah dinas Magelang. Rumah dalu (tua) ini sudah setahun kami tempati. Rumah yang mungkin dibangun sejak zaman kolonial ini berdampingan dengan 4 rumah dinas lainnya. Rumah yang kami tempati lebih besar dari pada tiga rumah lainnya. Rumah-rumah dinas kami menyatu dengan perumahan umum di komplek tersebut dan saling beradu punggung. Meski berada di kota, lingkunganya sepi karena posisinya menghadap tembok belakang gedung SMP dan disamping kiri, kira-kira selisih dua rumah terdapat sekolah dasar. Bisa dibayangkan, betapa sepinya saat malam hari. Hampir tidak ada motor, atau mobil lewat di jalan depan rumah kami. Satu-satunya hiburan adalah suara petugas jaga malam yang sesekali memukul-mukul tiang jaringan telepon setiap meronda keliling komplek. Di halaman rumah terdapat sebuah pohon tinggi dan besar. Diameter batangnya jika dipeluk oleh dua orang, tangan kedua orang itu baru bisa temu gelang. Orang-orang tidak tahu nama pohon dan kapan ditanamnya. Tentu usianya sudah tua, bisa jadi lebih dari seratus tahun.

Setelah aku turun dari mobil, Mas Gito kembali memegang kemudi dan pamit untuk memarkirkan mobil di halaman kantor yang berjarak sekitar 2 Km dari rumah. Aku ketuk pintu dan beberapa saat kemudian sang kekasih hati dengan wajah sayu -wajah khas seseorang yang tidak tuntas dalam tidur malam- menyambutku dan meraih koper yang kubawa. Tak banyak cakap saat itu, diambilkannya handuk dan aku langsung ke kamar mandi. Cukup mandi setengah badan, dari dada ke atas sampai wajah yang kubasuh. Toh sudah hampir pagi pikirku. Satelah mengeringkan badan dengan handuk dan berganti pakaian, kususul isteriku untuk tidur. Sisa malam kulalui dengan tidur nyenyak, senyenyak-nyenyaknya.

Paginya aku ngantor seperti biasa. Sore selepas kantor aku pulang ke rumah dan kulewati hari itu dengan tanpa kejadian yang istimewa, biasa saja. Pada malam setelah lewat waktu isya’, terdengar suara sebuah batu yang dilemparkan di atas genting rumah. Bergegas isteriku menghampiriku dan bertanya, “Dengar suara itu mas?”. “Ya”, jawabku. “Tadi malam sekitar tiga kali suara begitu, bahkan ada yang seperti bebatuan yang dicurahkan di atas genting”, tambah isteriku. Kali ini hanya terdengar sekali suara lemparan batu dan malam kembali sepi. Tak ada gangguan sampai kami bangun pagi.

Esok harinya di kantor, kuceritakan kejadian semalam kepada teman kantor yang membidangi sarpra. Perbaikan rumah-rumah dinas menjadi tugasnya. Aku memintanya untuk check atap rumah, barangkali ada genting pecah atau kayu-kayu bagian atap yang lapuk. Siang itu dia langsung memeriksa atap rumah bersama dengan satu orang tukang, Pak Tarip namanya. Pak Tarip ini semacam tukang kepercayaan yang setiap saat selalu siap jika dibutuhkan. Selesai memeriksa rumah, sang teman ini melaporkan bahwa kondisi atap masih bagus. “Kayu, kuda-kuda, usuk dan reng masih bagus pak. Hanya ada beberapa genting yang melorot, mungkin karena tergesek-gesek dahan pohon besar di halaman rumah”, katanya. “Mohon izin, besok saya perbaiki dan akan kami pangkas cabang-cabang pohon itu karena mengganggu atap sekolah juga”, tambahnya. Aku mengiyakan.

Dan benar, esoknya Pak Tarip membetulkan posisi genting-genting rumah yang bergeser dan memangkasi dahan pohon yang mengganggu atap rumah dan atap SMP di depan rumahku. Sekitar jam satu siang HPku berdering, isteriku menelepon. “Mas, Pak Tarip sedang motongi cabang-cabang pohon dilempari batu”, katanya dengan nada tergopoh-gopoh. Kutanyakan : “Siapa yang melempar?” dan dijawab, “Gak tahu”. Setelah menenangkan isteriku kututup pembicaraan di telepon. Jam dua-an aku pulang ke rumah dan masih ketemu pak Tarip yang sedang mengumpulkan ranting serta dedaunan. Kutanyakan perihal lemparan batu. “Enggih”, jawabnya. Menurut penuturan Pak Tarip bahwa saat dia sedang naik untuk memangkasi batang pohon, berkali-kali ada lemparan batu ke arahnya. “Niki watune kulo kumpulaken”, katanya sembari menunjuk beberapa buah batu seukuran bola bekel. Kuamati batu itu, batu-batu yang memang biasa ada di halaman rumahku, beberapa diantaranya berupa pecahan batu bata. Pak Tarip  melanjutkan cerita bahwa dia sempat marah dan turun dari pohon. Sembari menenteng parang yang dipakainya memangkasi ranting-ranting, dicarinya si pelempar batu sampai keliling komplek perumahan. “Nek ketemu ajeng kulo keplaki”, sambungnya dengan nada jengkel. Tapi tak ditemukannya si pelempar batu itu. “Ojo-ojo wong edan sing sok turu neng emperan rumah pak Pabin ya”, kataku menebak-nebak.  Pabin adalah Perwira Pembina, polisi diperbantukan di kantor kami yang rumah dinasnya selisih 2 rumah dari rumahku. Rumah tersebut lebih sering kosong karena Pak Pabin lebih suka melaju dari rumahnya di Temanggung. Beberapa kali sempat kupergoki di teras rumahnya ada lelaki paruh baya yang agak “kurang satu setrip”. Tapi sudah lama tidak lagi terlihat ada di situ. Jam 4 sore pak Tarip pulang dan tidak ada lagi orang jahil yang melempar batu.

Malam hari sepulang dari shalat isya’ di masjid komplek SD, kami sekeluarga bercengkerama, nonton TV dan mengawasi anak-anak yang lagi main mobil-mobilan. Terdengar kluthik-kluthik, suara batu menggelinding di atas genting. Sekali saja, kubilang kepada isteri, “Orang gila itu usil lagi”. Berselang agak lama terdengar lagi lemparan batu, kali ini lebih sering. Yang membuat kami kaget dan aku marah besar, ada lemparan yang sangat keras mengenai pintu depan. “Siapa itu?”. Teriakku sambil lari keluar rumah. Kucari di halaman dan jalan depan rumah, tak kutemukan seorang pun. Aku berjalan ke arah kiri di komplek perumahan, kudapati seorang tetangga sedang santai di halaman rumahnya. Kami saling bertegur sapa, dalam hati aku berkata, tidak mungkin bapak ini yang melempar batu. Beliau seorang purnawirawan TNI, orangnya ramah dan aku sangat menghormatinya. Kami ngobrol sebentar, tapi tidak kuceritakan kejadian barusan di rumahku. 

Aku, balik ke arah rumah, isteri bersama Inu dan anak-anak ternyata menyusul keluar. Lemparan batu terjadi lagi di halaman rumah, bahkan ada yang seperti diguyurkan mengenai pagar rumah. Aku mulai berpikir, pelempar batu ini bukan manusia. Buktinya, pagar rumahku berada di tembok belakang SMP, tidak mungkin dari arah sana lemparan itu. Kalau dari atas, mengapa dedaunan dari pohon besar di atas tidak bergerak dan tak terdengar suara kemrosak, suara khas daun yang terkena lemparan sebuah benda. “Jangan-jangan setan Bi”, kata Zulfan anakku yang saat itu masih TK. Anak-anak biasa memanggilku dengan sebutan Abi. 

Aku meneruskan berjalan ke arah sisi kanan, kulihat ada Mas Ambari-teman sekantor- yang sedang nongkrong rokokan di teras rumahnya. Kuceritakan kejadian tentang lemparan batu itu, lalu aku balik ke rumah diikuti Mas Ambari. Sampai di halaman rumahku, terjadi lagi lemparan batu. “Oh… iya Ndan, ada yang melempar”, teriak Mas Ambari sambal memungut batu itu. Dia lebih sering memanggilku Ndan, maksudnya komandan. Beberapa kali dia ikut menikmati lemparan batu dan kemudian berucap, “Saya tak ke orang pintar Ndan, saya ada kenalan orang pintar, batu ini saya bawa ke sana”. Mas Ambari pulang ke rumahnya untuk mengambil sepeda motor dan pergi ke rumah orang pintar yang dimaksudkannya.

Kami sekeluarga membali masuk ke dalam rumah. Meneruskan aktifitas menonton tivi dan anak-anak tetap asyik bermain mobil-mobilan. Malam itu lemparan batu terjadi terus-menerus, dan yang aneh, lemparan batu masuk ke rumah menembus tembok. Sangat aneh, karena rumah kami tertutup sangat rapat. Lobang angin pun telah rapat dengan kasa yang biasa digunakan agar nyamuk tidak bisa masuk. Saat itu tidak ada rasa takut sedikitpun dalam hatiku, aku bahkan merasa bangga bisa mengalami langsung kejadian di luar nalar ini. Apalagi anak-anakku nampak tidak terganggu, setiap kali ada batu jatuh dilantai diambilnya, dikumpulkan di dekat mereka bermain dan tetap asyik melanjutkan main mobil-mobilan. Aku berdua membaca Al Qur’an dengan harapan lemparan batu mereda, tapi yang terjadi malah seolah pelempar batu marah. Lemparan ternyata lebih sering dan lebih keras mengenai tembok dan pintu kamar. Sangat keras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun