Mohon tunggu...
Nuraman Sjach
Nuraman Sjach Mohon Tunggu... lainnya -

Freelance Media # Penyimak Kompasiana # Penikmat Buku # Penikmat Musik # ... .

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Review dan Refleksi (Pribadi) Tulisan di 2014

19 Januari 2015   13:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:50 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Halo semua kompasianer! Apa kabar? Harapan saya semuanya baik, sehat, dan tentunya tetap semangat menulis. Yang pasti, jangan seperti saya, yang enggan menulis, malas menulis, tergantung mood saat menulis. Pun saat saya menuliskan tulisan ini, saya masih tetap terdorong oleh mood. Tak ada yang lain. Sebab, mungkin karena sayanya yang memang malas, atau pun karena saya tidak memiliki niat yang kuat saat menulis. Apalagi saat saya membaca tulisan-tulisan saya di kompasiana ini. Rasa-rasanya, begitu sedikit sekali saya menulis di tahun 2014. Hanya 22 tulisan! Bayangkan, dari sekian ratus ribu kompasianer, saya mungkin tergolong yang lelet merespons segenap peristiwa yang marak di negeri ini. Coba bandingkan dengan riuh rendahnya kompasianer yang tanggap menilai setiap momen yang ada di negeri ini, beragam tulisan mereka menghias segenap sudut kompasiana. Dan lagi, tulisan-tulisan mereka tergolong bagus pula. Kadang terpikirkan, menyedihkan juga saya karena tak bisa cepat tanggap seperti kompasianer-kompasianer tersebut. Nah, daripada saya kebanyakan curhat, berikut review dan refleksi atas tulisan saya sendiri di 2014. Namun, sebelumnya, mohon maaf sebesar-besarnya pada sidang pembaca sekalian karena sebagaimana yang banyak saya tulis di sini, ini tak lebih dari pemahaman atau interpretasi saya pribadi atas momen-momen hidup yang menurut saya dekat dengan saya. Review Saat saya menulis Episode Saya dan Buku sebenarnya saya hanya menuangkan pengalaman pribadi saya saat berinteraksi dengan buku. Adapun maksud tulisan itu sebenarnya ingin menyasar lomba yang diampu oleh Kompasiana jelang IIBF 2014. Makanya, kalau diperhatikan, ada tag di tulisan itu terkait dengan ajang pameran buku internasional 2014 tersebut. "Judulnya" ingin ikut lomba tapi tidak menang. Alhasil benak ini waktu itu bilang, tak apalah, yang penting menulis dan dapat berbagi. Sewaktu mendengar Romahurmuzy dinobatkan jadi Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saya tersentak oleh kenangan masa lalu. Makanya, muncullah tulisan ini, PPP: Yang Muda yang Memimpin. Tulisan ini bersifat pribadi karena hanya bersentuhan sekilas dalam aktivitas di masa lalu. Masa-masa di mana saya saat itu masih bau kencur, masa sekolahan, tetapi bisa merasa bahwa suatu saat orang yang saya saksikan waktu itu akan "jadi orang". Dan jadi orangnya pun seperti apa saya tidak tahu, eh tahu-tahunya jadi seperti sekarang ini. Di Seorang Kawan yang Berarti saya curhat. Curhat karena tak bisa menghadiri pernikahan seorang kawan yang pada waktu saya menikah ia bisa-bisanya datang dari jauh hanya untuk dapat berbagi kebahagiaan dengan saya. Di tulisan ini saya curhat karena menyayangkan diri sendiri yang sebenarnya mampu hadir -- bahkan di undangan via onlinenya saya mengiyakan untuk hadir -- namun di hari H-nya saya tidak mampu mendatanginya. Apa pasal? Karena waktu itu saya memang tak dapat hadir karena suatu hal. Ada sesal di hari itu. Alhamdulillah-nya kawan ini kemudian tetap menyambung silaturahminya pada saya sampai saat ini. Sampai saat ini (dan mungkin di hari-hari berikutnya) saya terus bertanya pada diri sendiri, untuk apa saya menulis? Hasilnya, ya tulisan Motivasi Menulis. Di bagian ini saya mengurai (untuk diri saya sendiri) mengapa saya menulis dan untuk apa pula. Tulisan ini pun sebenarnya muncul karena saya kehilangan gairah menulis. Sebagai bentuk pelarian seorang penulis pada umumnya, ya saya kembali membaca baca buku tentang tulis menulis. Berikutnya, sewaktu saya menulis Asuransi Syariah memang Lebih Menenteramkan Hati, pada waktu itu saya mencoba "mengganti" ketidakhadiran saya di acara nangkring bareng Kompasiana dan Sun Life Financial. Acara yang kalau tidak salah di adakan di satu kafe yang berseberangan dengan gereja Theresia Jakarta ini memang tidak dapat saya hadiri dikarenakan saat itu saya sedang tidak sehat. Biasalah, meriang melanda tubuh; demam. Padahal di area itulah saya sering mondar-mandir mengantar-jemput istri. Makanya, sebagai "balas dendam" dan harap-harap cemas, saya mencoba melaksanakan "tugas" menulis itu. Dan lagi, tidak menang sedikit pun. Jadi, tak apalah dan tak soal pula. Yang penting sudah berbalas dengan tulisan. Baurkan Mood dan Passion (dalam Menulis) adalah "tumpukan beban" tulisan saya yang nongol kembali setelah beberapa bulan tidak menulis di Kompasiana. Sebelum ini saya menulis untuk disertakan pada lomba tulisan yang diselenggarakan oleh Smartfren dan Kompasiana, yaitu Andromax V? Boleh dan Cukuplah! Memang saya terlecut menulis soal gadget (meski tak begitu saklek juga saya mau menulis tentang teknologi gadget terkini) karena saya akui saya ngiler juga dengan hadiah yang ditawarkan. Lumayan, sembari menunggu kekosongan gadget terkini, kenapa tidak saya coba ikutan, begitu kilah benak saya saat itu. Dan pemenangnya kembali bukan saya tetapi orang lain yang karena saking pengen tahunya saya cek ke lapaknya. Tentu dengan niatan kenapa sih tulisan dia bisa memenangkan hape yang diperebutkan, begitu maksudnya. Eh, ternyata, saat tiba di lapaknya, tulisannya cuma ada itu dan satu-satunya lagi waktu itu. Jadi, dalam benak saya, kenapa dia yang menang? Sementara, masih banyak kompasianer-kompasianer lain yang lebih aktif menulis namun kok orang ini menang hanya dengan satu tulisan yang ada di lapaknya (waktu itu; entah sekarang). Memang tulisan saya pribadi terkait dengan gadget ini setelah saya baca ulang biasa-biasa saja. Malah di dalamnya saya sedikit memberi nada kritik. Karenanya saya sebut di judul "boleh dan cukuplah!" Tulisan yang mungkin, hemat saya, tidak layak ketika kita ingin mempromosikan sesuatu yang bombastis namun setelah di telisik tidak benar-benar booming juga -- sementara pihak sponsor kan inginnya dipromosikan lebih baik produknya. Sayangnya, sepengetahuan saya (dan dari teman-teman saya yang gadget freak), yang namanya teknologi gadget alias smartphone atau ponsel pintar, selalu berkembang dalam hitungan beberapa hari (tidak minggu atau bulan). Selalu ada info-info terkini soal teknologi ini dan selalu ada penemuan-penemuan terbaru terkait dengan produk-produk yang berhubungan dengan data. Kembali ke tulisan sesudahnya, saya terus berhitung sudah berapa bulan saya tidak menulis di Kompasiana. Sudah berapa bulan saya tidak share and connecting dengan kawan-kawan kompasianer lain lewat tulisan. Itulah sebabnya saya membuka tulisan saya itu dengan, "Kenapa saya lama tidak nongol di blog ini?" Dan alasan saya lagi-lagi soal mood. Beginilah tulisan terakhir saya sebelum akhirnya saya kembali tak berkemauan dalam menulis, Reportase? Jangan Lupakan Vademekum Wartawan! Di tulisan ini saya bercerita pengalaman saya kala "dituntut" menulis reportase setelah sekian lama saya vakum menuliskannya. Karena dapat tugas sedemikian rupa maka serabutanlah saya yang sudah lama tidak ngulang tentang tulisan bernada reportase. Saya "bongkar" buku-buku lama, lalu ketemulah buku Vademekum Wartawan ini. Tulisan ini sebenarnya bermaksud menerangkan tentang bagaimana menulis reportase dasar. Namun kemudian saya mengalihkan tulisan ini pada poin yang kurang lebih sedikit berpromosi bahwa kalau ingin menulis reportase, minimal, milikilah buku ini karena ada banyak contoh bagaimana menuliskan sebuah reportase dalam buku ini. Lalu, sedikit improvisasi, saya berikan contoh tulisan saya sendiri, Shop&Bike: Diversifikasi Lanjut dari Astra Otoparts. Itulah tulisan saya yang saya sebut "reportase" karena saya mencoba "mengukur"-nya menggunakan buku panduan reportase dasar di atas. Terus terang, tanpa buku itu rasa-rasanya saya tak bersemangat untuk menulis reportase dan alhamdulillah-nya akhirnya saya mendapatkan voucher dari Shop&Drive (kakak dari Shop&Bike) sebagai per tanda saya memang berhak yang mendapatkan karena menuliskan reportase mengenai grand opening Shop&Bike wilayah Ciledug, Jakarta (/Tangerang?). Saya sendiri entah mengapa dapat mendapatkan voucher ini karena diumumkan via e-mail oleh Kompasiana. Mundur dari tulisan ini, saya menulis ini Anda Caleg Gagal? Jangan Sekali-kali Tinggalkan Rakyat. Tulisan itu berangkat dari keprihatinan saya pada calon-calon anggota legislatif yang gagal melenggang ke kursi dewan, entah itu daerah maupun pusat. Berita-berita yang mengemuka waktu itu dalam pandangan saya lebih banyak miris daripada bahagianya. Yang berbahagia janganlah dibahas, tetapi coba kita saksikan mereka-mereka yang gagal yang kemudian stres yang kemudian harus mengembalikan sekian hutang pasca kampanye. Sepertinya menjadi caleg itu adalah impian indah padahal bila gagal atau tidak terjadi bukankah kita harus bangunkan dari impian indah itu? Mereka, para caleg, adalah tak lebih dari warga kebanyakan seperti kita-kita. Sewajarnyalah kita yang warga biasa mengingatkan bila ada salah satu warga kita "tertidur" dari impiannya itu. Ada yang Salah dengan Golput? adalah tulisan "teruntuk" saya pribadi. Jelang pemilihan anggota legislatif saya tidak pulang kampung ke Bandung meski ibu saya sudah mengingatkan agar menggunakan hak pilih saya di daerah tempat KTP saya berasal. Sebaliknya, saya memilih tetap di sini, di Jakarta, tidak menggunakan hak pilih. Sama seperti di tulisan itu “… pilihan untuk tidak memilih itu termasuk pilihan politik pula.” Bagian inilah yang saya amini sebagai bentuk protes singkat sekaligus untuk berlalu begitu saja bahwa tanpa memilih pun saya masih dapat berkontribusi di negeri tanah tumpah darah saya ini. Berikutnya, Bintaro Jaya XChange, Captain America, dan The Raid 2. Tulisan ringan menurut saya, tapi saya selipkan sedikit, mungkin, sesal, review film ringan, dan juga sedikit fenomena yang tertangkap oleh mata saya di hari itu. Uraian tulisan ini sebenarnya berangkat dari kegiatan sehari-hari yang banyak kita lakukan di hari Sabtu dan Minggu. Juga karena memang di area itulah saya hampir bisa sehari-hari bilang "berkeliaran". Pada Setahun Lewat di Kompasiana, Apalagi yang Perlu Ditulis? saya sebenarnya menulis mengenai "kelelahan" saya selaku pembaca diam (silent reader) yang turut mengamati kelakuan menulis kompasianer sehari-hari. Cuma uneg-uneg yang hemat saya pantas dilalukan sedemikian rupa. Juga kebingungan hendak menulis apa. Alhasil, tulisan itu sekali lagi hanya tampil sebagai curhatan biasa. Saat Sesaat Lepas dari Internet merupakan tulisan ngalor-ngidul saya. Saya menulis itu di hape Samsung Galaxy Note yang pertama yang waktu itu saya miliki. Memang agak sulit juga menggunakannya karena touchscreen. Terbiasa dengan blackberry jadul saya, rasa-rasanya ingin kembali ke mode klasik lagi agar saya leluasa menulis menggunakan smartphone. Tapi ya sudah, tak ada laptop, ponsel pintar ini pun jadi pula saya gunakan. Soalnya semburat ide waktu itu sedang tinggi-tingginya meski pun cuma pikiran yang kesana kemari. Sebelum menulis yang di atas, saya berusaha Mencari Titik. Puisi yang saya unduh itu hanyalah setitik pengalaman dan juga pemahaman saya mengenai alur hidup yang sudah saya jalani dan lakoni. Tidak banyak kata yang saya bisa utarakan. Hasilnya, ya segitu saja saya menuliskannya. Dalam Meminggirkan Visi Indonesia Raya saya mencoba berkomentar sekaligus beropini mengenai dua mantan presiden kita yang diwawancarai oleh Metro TV dalam acara Mata Najwa. Acara yang dipandu oleh Najwa Shihab ini saya baca di Kompasiana waktu itu banyak menyedot pikiran dan pemahaman kompasianer sehingga blog ini menjadi ramai lagi. Tulisan maupun komentar banjir, namun satu yang di benak saya waktu itu terasa terlewatkan oleh kompasianer, itulah yang saya sebut "visi Indonesia Raya". Sebagai bagian nyata dari anak bangsa ini, sewajarnyalah visi Indonesia Raya itu yang tergenggam. Bukan siapa presidennya yang terus dicokoki oleh opini maupun komentar-komentar kita, namun yang penting, sekali lagi, bisa tidak dengan visi itu kita berkontribusi bagi negeri ini meski kecil sekali pun. Karena right or wrong is your country! Benar atau salah tetap saja kita tinggal di bumi pertiwi ini. Di Latah dan Dangkalnya Kita Pewarta Warga saya menuliskan kecenderungan kompasianer saat itu (dan mungkin masih di saat ini juga) yang terkesani mengikuti alur berita secara umum. Kesannya... ya latah. Kompasianer itu kebanyakan latah dengan dominasi berita yang banyak dilaporkan oleh jurnalis-jurnalis pada umumnya. Lhah, namanya juga "pewarta" jadi boleh-boleh saja kan? Mungkin begitulah kita kebanyakan. Pun dengan bekal semacam itu kita lantas "bombastis" mengekspos judul tulisan, padahal, maaf-maaf saja, tulisannya ternyata biasa-biasa saja. Jadi, sekali lagi, khususan di tulisan ini saya meminta maaf kalau ada kompasianer yang tercolek dengan tulisan ini. Sempat bersinggungan dengan orang lain, lalu orang lain itu punya pengaruh meski sedikit di kehidupan saya adalah sebab awal saya menulis In Memoriam: Prof. Dr. Damardjati Supadjar. Secara pribadi, dalam tulisan ini saya urai, saya memang tidak mengenalnya langsung. Namun bersinggungan di waktu saya masih sekolah di Jogja memberi tidak sedikit pengaruh pada pembentukan pengetahuan saya sampai saat ini. Ibarat orang yang menjatuhkan batu ke air hingga memunculkan gelombang, itulah pengaruh beliau pada saya. Di masa itulah saya terpecut untuk segera membuka buku-buku filsafat meski kemudian di tahan oleh guru bahasa saya yang mengingatkan agar lebih baik fokus untuk menuntaskan sekolah dulu. Setelah itu, silahkan saya hendak melakukan apa pada bahan-bahan bacaan itu ya terserah saya. Saya pun mengamininya. Maklum, guru saya ini selain wali kelas juga pak guru yang sangat "ngayomi" pada anak didiknya. Hasil dari ini adalah saat buku Nawangsari karangan beliau keluar, saya pun turut memburunya sampai pasar buku Palasari, Bandung. Sampai saat ini saya menyadari bahwa modal saya dapat menulis adalah hasil dari membaca. Sampai-sampai saya berkeyakinan bahwa siapa pun kita, yang mampu menulis dan melakukannya tentunya sudah mempunyai modalitas dari bahan-bahan bacaan. Namun, kadang otak kita enggan berpikir keras. Makanya saya menulis Membaca dan Dangkalnya Cara Berpikir Kita. Pengalaman adalah (tetap) guru yang terbaik. "Dibombardir" oleh tugas membaca dari sekian dosen saat kuliah membuat saya makin keranjingan membaca. Sepertinya membaca itu tidak boleh lepas di hari-hari saya. Namun, hemat saya, yang membuat bacaan itu makin berarti adalah saat kita mampu kritis terhadap bacaan kita. Jadi, membaca menjadi aktivitas kritis yang memungkinkan lagi kita memunculkan suatu pengalaman baru. Itulah pengalaman menulis. Hanya saja, dalam pandangan saya di tulisan ini, masih banyak tulisan-tulisan dangkal yang cukup hanya jadi bacaan belaka tanpa ada alur yang membuat otak kita ini lebih terasa. Tandanya? Ya susah juga saya pribadi menjawabnya. Palingan kuncinya cuma setelah Anda membaca, ada tidak dari hasil bacaan Anda itu membekas atau tidak. Kalau tidak, mungkin, wallahu a'lam, tulisan itulah tulisan yang dangkal sebagai cermin cara berpikir kita. Manusia modern adalah hewan! Eits, sabar dulu. Tahan dulu karena ada lanjutannya. Lanjutannya adalah ... kalau mereka tidak memperhatikan buku. Begitulah saya membuka tulisan Buku bagi Mereka yang Lelah Membaca dan Menulis. "Tekun" adalah kata yang ingin saya sampaikan disini. Pun itu dengan warna bahwa saya masih seperti orang kebanyakan yang masih kurang tekun dalam membaca dan menulis. Cuma alhamdulillah-nya saya masih dong tetap bergaul dengan buku. Berikutnya soal banjir. Saban tahun Jakarta selalu kebanjiran. Sebagai orang yang turut tinggal dan mencari nafkah di kota ini saya memang hanya bisa prihatin. Namun yang lebih prihatin lagi buat saya adalah soal banjir dan keterkaitannya dengan lingkungan hidup. Terus terang, tilik punya tilik, konsen pemerintah kota Jakarta ternyata tidak diimbangi pula oleh konsen lingkungan pada pemerintahan sekitar kota Jakarta. Ibarat Jakarta ini hilir, justru di bagian hulu sebagai penyebab awal atau kota-kota penyangga Jakarta yang hemat saya tidak peduli soal lingkungan hidup. Itulah sebab saya sedikit emosional menulis Pemkot Daerah tidak Peduli Banjir! Ya, saya rasa secara pribadi saya bisa mempertanggung jawabkan tulisan itu. Pemkot daerah memang tidak peduli banjir karena mereka fokus di pusat kota daerah masing-masing. Coba lihat daerah-daerah perbatasannya, apakah mereka peduli, minimal pada perkembangan sosialnya. Batas kota daerah dengan Jakarta kini tumbuh pesat, mungkin melebihi kepesatan kotanya. Perumahan-perumahan mandiri bermunculan di sudut batas daerah mereka dan bukankah itu berarti perlu ada kontrol di sana, minimal soal kependudukan, minimal soal lingkungan hidup. Akan tetapi, sekali lagi, apakah mereka yang di pemkot punya visi antisipatif pada gejala-gejala sosial macam itu? Untung tulisan saya hanya saya fokuskan ke soal banjir. Akhirnya di "Menghidupkan" yang Lalu, Melupakan Masa Depan saya hanya ingin menegaskan bahwa manusia, termasuk saya juga pastinya, Anda juga, mau laki-laki atau perempuan, adalah makhluk masa depan. Kekinian kita adalah kemasa depanan kita. Kita memang punya masa lalu, namun kalau kita tetap terpancang di masa itu maka habislah segi kemanusiaan kita. Kita memang memiliki sejumlah pandangan, paradigma, atau pun cara berpikir tertentu untuk memaknai sesuatu baik itu pengalaman yang sudah-sudah dan akan seperti apa kita ke depannya. Akan tetapi, yang utama, hemat saya sekali lagi, adalah soal mati. Siapkah kita mati? Di awal pergantian tahun dari 2013 ke 2014 itulah saya merenungkan banyak hal, dan salah satu yang muncul ya tulisan tersebut. Refleksi Dari sekian review singkat tulisan sendiri di atas ternyata saya harus mengamini beberapa hal bahwa saya memang belum memancangkan tekad yang kuat untuk menulis, pun ternyata memang masih banyak harus belajar dari rekan-rekan sesama kompasianer. Dari sekian kompasianer yang saya kirimi pesan di inbox-nya atau saya komentari ada beberapa yang hemat saya patut dijadikan teladan -- saya rasa kebanyakan kompasianer tahu mereka-mereka ini. Terlepas tentunya dari pengelola kompasiana yang turut menulis di sini seperti Kang Pepih atau mas Isjet, ada beberapa kompasianer yang malang melintang menyajikan tulisan-tulisan yang berbobot entah itu di reportasenya maupun di opininya. Namun sebaliknya, kadang-kadang saya menyaksikan ada beberapa kompasianer aktif pun ternyata turut jadi tukang kompor, mewek atau apa pun istilahnya yang berusaha bertahan dengan pendapatnya, tetapi -- maaf-maaf -- lalu menghapus sekian tulisannya lagi hanya karena menghasilkan suatu debat yang menurut penulisnya tidak pada tempatnya. Padahal, saya yang suka asyik membaca hal-hal demikian, model kompasianer inilah -- meski aktif menulis terus -- justru menjadi model kompasianer yang tidak bertanggung jawab (meski ia berkomitmen untuk tetap menulis). Di wilayah sosial media macam blog keroyokan ala kompasiana ini, debat terbuka, demokrasi, asal masih dalam koridor-koridor yang meyakinkan bukankah menjadi semacam penguat warga. Apalagi di era sekarang di mana jaringan internet begitu banyak di akses oleh anak bangsa, saling silang pendapat itu wajar adanya. Cuma ya itu, janganlah kita kebakaran jenggot hanya karena tulisan kita muncul tidak pada waktu dan tempatnya lalu di hantam sedemikian rupa oleh sejumlah kompasianer lalu kita pun lari tunggang langgang dengan menghilangkan tulisan kita sendiri yang jadi bahan perdebatan. Sungguh, menurut saya, malang nian orang semacam ini. Begitu pun dari sekian review saya membaca bahwa begitu tidak berdaya tariknya tulisan saya untuk mengundang sejumlah kompasianer turut membacanya. Apa boleh buat, tulisan saya kiranya masih segitu-gitu saja rasanya. Dari sekian tulisan saya di 2014 hanya tentang tulisan mengenai caleg gagal yang tingkat keterbacaannya begitu tinggi. Dalam hati saya bertanya, mengapa tulisan-tulisan yang terkait dengan tema aktual (tampaknya) selalu di lirik dibandingkan tema-tema yang tidak populer. Meski kadang terbantu oleh HL kompasiana, tetap saja dari segi hits bacaan belum tentu tulisan itu akan dibaca oleh banyak orang. Memang kualitas tulisan kadang tidak dapat disandingkan dengan tingkat keterbacaan yang tinggi (ini pendapat saya lho). Begitulah kawan uraian singkat saya tentang review dan refleksi tulisan saya di sepanjang tahun 2014. Apa saya terlambat menayangkan ini? Wow, jelas terlambat. Tapi tak apalah terlambat daripada tidak menulis sama sekali. Terima kasih sudah membacanya. Salam kompasiana!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun