Mohon tunggu...
Nuraman Sjach
Nuraman Sjach Mohon Tunggu... lainnya -

Freelance Media # Penyimak Kompasiana # Penikmat Buku # Penikmat Musik # ... .

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Cinta Dunia, Takut Mati

13 Maret 2013   09:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:51 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konon, sebelum kita mati, kita akan dipertemukan oleh orang-orang yang pernah “mengisi” hidup kita. Entah orang itu teman kita, orang-orang yang pernah ada di hati kita, atau juga orang-orang yang pernah menjadi musuh kita.

Teman kita, musuh kita, adalah orang-orang yang turut andil memberi makna hidup kita – selain orang tua tentunya. Dari merekalah kita mematok arti hidup di dunia. Terkadang, saking tidak ingin berpisahnya dengan mereka, kita lupa bahwa hidup ini cuma sementara. Dalam hal ini, sudah berapa banyak “berita kematian” yang kudengar. Mulai dari almarhum bapakku sendiri, paman/bibiku, tante-tanteku, bahkan saudaraku seumur lainnya. Seorang teman waktu aku sekolah menengah pertama, kabar terakhirnya justru telah wafat sewaktu ia kuliah. Sakit. Ada lagi kawan beda kelasku waktu di sekolah menengah umum: meninggal karena tertabrak.

Duh, tanpa kita sadari sebenarnya kita begitu lekat dengan dunia. Akhirnya, kita pun takut mati. Apakah ini maksud dari cinta dunia dan takut mati? Padahal kalau kita rasa-rasa saja hidup kita ini sungguh-sungguh ada di tangan-Nya. Bahkan di saat kita tidur pun Ia dapat mematikan kita. Untuk yang terakhir ini, aku ingat model kematian nenekku, ibunda ibuku. Katanya ia meninggal dengan cara pamit ingin tidur. Ketika itu, kakak ibuku, tanteku, berpikir bahwa ibundanya memang ingin tidur. Lalu, ditinggalkannyalah nenekku itu di kamarnya. Tetapi, hari berganti, dan ia pun tidak bangun-bangun. Akhirnya, setelah dicermati, benarlah bahwa ia telah wafat.

Saat mantan Presiden kita, Soeharto, meninggal, ada yang menangisi dan ada pula yang acuh menikmati berita meninggalnya. Mungkin aku termasuk yang bagian terakhir untuk itu, sedikit acuh, sambil ‘sadar’ bahwa generasiku banyak yang dibesarkan di masa ia berkuasa pula. Orang yang punya kekuasaan mati, apalagi kita yang biasa-biasa ini. Yang sibuk dengan kerjaan masing-masing. Yang sibuk memikirkan apa yang harus dikerjakannya besok. Yang sibuk menghitung jumlah uang untuk bertahan hidup di hari-hari berikutnya.

Acuh. Tidak pedulian. Peduli diri sendiri. Lalu, apa yang sudah didapat? Kenyataannya, meski kita memikirkan diri kita sendiri pada galibnya tak sedikit pula yang urusannya jatuh lagi ke urusan dunia. Lagi-lagi dunia! Dan realitanya memang seperti itu: kita hidup di dunia dan terkadang tanpa sadar diperbudaknya. Ya seperti kita menjalani rutinitas harian kita belaka tanpa menanyakannya. Otomatis dunia! (bukan Otomatis Romantis, lho!)

Suatu malam, aku sempat susah tidur memikirkan tentang hal ini. Ngeri juga rasanya bila kita tiba-tiba mati tanpa meninggalkan sesuatu yang berarti, terutama amal-amal yang akan “menemani” kita di alam sana. Hasilnya, tidurku tidak nyenyak. Esoknya pun aku bangun dalam keadaan resah.

Rasanya, memang ada yang kurang di hidup yang kujalani sampai saat ini ... .

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun