Mohon tunggu...
Nur Amalia Fitri
Nur Amalia Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM Angkatan 2019

Pertama, cintai diri sendiri. Kedua, jangan berharap kepada manusia, Ketiga, bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Film

Objektivitas: Yang Hilang dari Indonesia, Mari Belajar dari Tokoh Utama TV Series Film Omar!

7 Juni 2021   19:36 Diperbarui: 7 Juni 2021   19:39 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbagai permasalahan yang ada di Indonesia salah satunya tak lain merupakan adanya cacat berpikir pembawa amanah terhadap tanggung jawab yang dipikul, baik amanah yang besar atau kecil sejatinya tetap harus loyalitas dalam menjalankannya. 

Prinsip objektivitas merupakan prinsip yang terlihat hilang dari bangsa ini ketika KPK dilemahkan, masyarakat menarik sikap percaya terhadap pemerintah yang dianggap tidak sepenuhnya melihat masalah secara utuh, bersih, an sich (sendiri), serta suara angin yang bertebaran di tulisan atau cuitan netizen khususnya mahasiswa ramai dibicarakan bahwa orde baru memasuki babak II.

Film serial dengan genre agama yang berjudul Omar atau Farouk Omar menekankan salah satu prinsip yang harus dipegang dari seorang pemimpin yaitu objektivitas. Film yang sempat ditolak untuk tayang tersebut, akhirnya berhasil tayang tahun 2012 di stasiun TV Qatar, jika kalian ingat bahwa film tersebut sempat tayang di TV Indonesia menemani waktu sahur saat puasa Ramadhan juga loh. 

Kesuksesan film ini secara tidak langsung dapat dirasakan karena menjadi bahan ajar di sekolah atau institusi untuk mengenal sahabat Rasulullah, Hatem Ali sebagai sutradara bersama dengan tokoh utama Samer Ismail sebagai Umar Bin Khattab merupakan beberapa sosok di balik keberhasilan nilai dan pesan bisa tersampaikan kepada penonton.

Objektivitas merupakan nilai sekaligus menjadi sikap yang tertanam dalam diri Umar bin Khattab sebagai pemegang khalifah kedua setelah Abu Bakar As-Shiddiq. Sebelum menjadi seorang muslim, ia merupakan pengembala unta dan beralih menjadi pebisnis yang merintis karirnya dengan tekun sampai ia cukup untuk menghidupi dirinya sendiri. Sebagai sosok pemuda yang memiliki kelebihan bisa masuk dalam forum golongan tua karena kecakapan dan kebijakannya dalam berbicara, Umar selalu menunjukkan sikap independen dari golongan tua yang tak jarang mengkritik pedas Rasulullah beserta ajarannya. Berbeda dengan Umar, ia sama sekali tidak membenci isi ajaran Islam karena ia sendiri ennggan untuk mencari tahu, hal ini disebabkan Umar sudah terlanjur membenci Nabi Muhammad SAW karena akibat dari segala tindakannya dianggap telah memecah belah persaudaraan bangsa Arab khususnya kaum Quraisy bahkan ia menjadi sosok yang berada di garda terdepan dalam memusuhi Nabi Muhammad SAW. Sikap objektif Umar terlihat jauh sebelum Islam perlahan disebarkan, keobjektifannya memberi dampak pada sikapnya yang  jujur saat berbisnis, bertutur kata, adil,  dan merawat baik hati nuraninya begitu pula pilihannya untuk membenci hanya satu manusia di dunia bernama Muhammad bin Abdullah.

Ketidaksukaan Umar terhadap Rasulullah sampai ia membuat keputusan untuk membunuh Rasulullah seorang tanpa berkeinginan membunuh pengikutnya, meskipun sosok Muhammad yang terkenal sebagai Al-Amin dan akhlaknya yang mulia. Dalam rencananya tersebut Umar tetap membawa sikap adil, ia akan menyerahkan diri kepada keluarga Rasulullah untuk merelakan dirinya dihukum dengan tindakan yang sama yaitu dibunuh. Salut!

Kebencian Umar terhadap Nabi Muhammad SAW tak lain karena kasus yang ia tahu dan tersuguhkan dengan hangat di kalangan masyarakat Arab memang jelas, yaitu membuat kegaduhan karena pengakuan Muhammad sebagai Nabi/Rasul dari Allah dengan membawa ajaran baru bernama Al-Islam sehingga menyebabkan golongan tua murka karena ajaran nenek moyang yang selama ini dianut perlahan tidak diminati oleh masyarakat Arab, sistem kasta antara budak dan majikan tidak ada jarak lagi, serta ketidaksopanan budak terhadap tuannya yang dibuktikan dengan kokohnya keyakinan para budak muslim meskipun harus menjalankan hukuman berupa penyiksaan karena diam-diam memeluk Islam. 

Telinga dan Hati yang Bersih Mendengar 

Tanpa disangka Umar yang hatinya lembut itu mendengar Surah Thaha ayat 1-6 dibacakan oleh sanak saudaranya yang berada di rumah adiknya Fatimah, meskipun Umar sempat marah karena merasa dikhianati saudaranya sendiri, Surah Thaha ayat 14 merupakan titah Tuhan yang menggerakkan hatinya tersadar. Kekaguman pada makna ayat tersebut ia terjemahkan sendiri bahwa Islam mengajarkan kesetiaan pada Tuhan untuk tidak menyembah apapun selain Dia, hati Umar tersentuh pada halusnya pesan yang tertulis, ia menyadari bahwa ajaran sebaik ini akan memberikan cahaya pada gelapnya bangsa Arab dengan sikap primitif yang masih memuja berhala padahal sama sekali tidak memberikan manfaaat apapun kepada kehidupan manusia, justru hanya mencederai nilai kemanusiaan (timbulnya sistem kasta sosial) karena ajaran yang dikotori oleh manusia sendiri tanpa ada dasar kuat dan bersih dari Tuhan.

Bergegas dengan segera Umar menemui Rasulullah dan menyatakan dirinya menerima Islam sebagai pedoman hidupnya, kekuatan Islam semakin bertambah setelah ia masuk Islam. Umar menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang profetik, hal ini terlihat banyak kaum termarginalkan diperlakukan setara entah mereka muslim maupun bukan. Keobjektivitasnya bermula dari pikiran yang rasional terhadap suatu kebaikan dengan keteguhan hati berpihak pada penjagaan hak-hak kemanusiaan, pilihan sikap inilah yang memudahkan ia menemukan kebenaran.

Objektif sebagai prinsip dalam bertindak, sesederhana seseorang berusaha memisahkan dirinya dengan kepentingan dalam membuat suatu keputusan dan memberikan hak kepada telinga untuk mendengar suara hati nurani, serta mengizinkan otak untuk mengolahnya. Kasus korupsi di setiap negara merupakan buah dari kesubjektivitasan manusia yang berpihak kepada nafsu, keputusan untuk berkorupsi didapatkan dari kekerdilan rasionalitas untuk menciptakan negara madani. Tidak hanya korupsi, namun ketimpangan sosial misalnya dalam segi hukum sebagai bukti bahwa ketidakobjektifan mampu menggeserkan Dzat Tuhan pada yang lain, uang dan kekuasaan di antaranya.

Semoga kita merupakan adik ideologis Umar bin Khattab, sosok yang mata hati dan akalnya hidup dan terawat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun