Bisakah seorang Jawa memeluk islam tanpa melepaskan "kejawaan"-nya? Ketika dakwah Islam mulai menyentuh tanah air, bangsa Jawa sudah mempunyai identitas diri yang kuat. Selama ratusan tahun orang Jawa memiliki keyakinan yang kental dengan animisme, percaya pada roh-roh makhluk gaib yang menghuni benda mati.Â
  Â
Ketika ajaran tauhid yang simpel diperkenalkan --- melalui seni budaya dan perdagangan --- dengan cepat ia diadopsi oleh warga Jawa. Mungkin karena dekat dengan agama kuno mereka --- Kapitayan, yang konon dipercaya monoteistik. Di waktu bersamaan, tak mudah bagi mereka untuk melepas praktik-praktik dan kebiasaan lama mereka. Di sinilah sinkretisme agama tidak terhindarkan. Keyakinan primordial animisme bertemu ajaran impor Hindu abad ke-4 dan ajaran Islam abad ke-7, lalu teraduk-aduk dan bertemu di kuali. Dari kepulauan di garis khatulistiwa, lahirlah Islam dengan wajah yang cukup berbeda dari Islam prototipe awal yang lahir di semenanjung Arab. Kelak ia dilabeli sebagai Islam Nusantara. Sepanjang sejarah, Indonesia adalah masyarakat kepulauan yang sangat terbuka terhadap berbagai pengaruh budaya dan nilai-nilai dari luar. Segala yang baru dan asing bisa dengan cepat diadopsi dan dilebur dengan nilai-nilai yang sudah tertanam lebih awal. Berkali-kali dalam sejarah hal ini terbukti.
Maka dalam praktiknya, berbagai macam takhayul yang sudah begitu mengakar pun "terislamkan". Keris yang dimandikan dengan air kembang akan diarak saat momentum kirab 1 Suro (Tahun Baru Islam). Melarung kepala kerbau (sebagai sedekat laut) lantas dibajukan sebagai pesta Syawalan. Begitu juga takhayul Ratu Kidul sebagai penunggu Laut Selatan, juru kunci Merapi, sumpah pocong. Kyai yang mempraktikkan ilmu kanuragan (ilmu sakti), dan penyembuhan supranatural dengan menjual air doa. Ramalan dan pemilihan hari baik yang merujuk pada primbon penanggalan jawa. Peringatan tujuh bulan kehamilan, dan 40 hari berkabung pun merupakan ritual-ritual yang sudah berlangsung lama sejak era pra-Islam.
Ulasan Buku
Demikianlah garis besar buku tebal berjudul "Mengislamkan Jawa" ini. M. C. Ricklefs --- sejarawan asal Australia --- menulis panjang lebar mengenai dinamika Islam yang kental dengan kultur mistik Jawa. Juga memaparkan tentang masyarakat Muslim Jawa yang terpolarisasi, antara islam santri dan abangan. Lalu islam santri kembali terbelah antara islam NU dan islam Muhammadiyah. Kelak memasuki abad ke-21, kedua gerakan arus utama ini akan lebih banyak bersatu karena menghadapi gerakan baru dalam tubuh komunitas Islam yang dianggap lebih ekstrem dan radikal.Â
Sebagaimana buku yang risetnya didanai oleh berbagai yayasan hibah, tulisan Ricklefs cukup mendalam. Banyak data yang dihimpunnya dari rentang masa cukup panjang. Sayangnya, kebanyakan dari era pasca-Reformasi (tahun 2000-an ke atas). Mungkin karena datanya paling mudah diakses.
Meski begitu, saya merasa buku setebal 800-an halaman ini sebetulnya bisa lebih disingkat karena uraian panjang lebarnya banyak berulang. Dan Pak Ricklefs sebatas menguraikan kajiannya dari kacamata pihak luar yang berusaha untuk bersikap objektif. Ia sangat menjaga diri dari memberi sudut pandangnya sendiri. Bagi saya, inilah kekurangan besar buku ini. Tidak menawarkan sudut pandang baru, selain merekam dan menghimpun kejadian masa lampau. Padahal saya selalu suka membuka buku bertema sejarah yang ditulis dari sudut pandang yang baru dan segar. Ada beberapa buku tema sejarah karya penulis luar yang membuat saya terkagum-kagum bacanya karena perspektif yang diambilnya. Di antaranya, buku Revolution karya David Van Reybrouck, Indonesia etc karya Elizabeth Pisani, dan Majapahit karya Herald van der Linde. Buku-buku ini baru belakangan saya tamatkan dan kembali memantik kecintaan saya untuk mengkaji sejarah tanah air lebih jauh lagi.[]Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI