Mohon tunggu...
Nur Fajriyanti Habibah
Nur Fajriyanti Habibah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Sociology

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Drama Korea sebagai Budaya Populer di Tengah Pandemi

4 Juli 2021   14:51 Diperbarui: 4 Juli 2021   15:04 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tak terasa setahun lebih pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Selama itu pula, masyarakat di Indonesia hingga sampai saat ini sangat terbatas dalam melakukan berbagai kegiatan, terutama di luar ruangan. Mulai dari kegiatan belajar mengajar di sekolah dan kampus, hingga bekerja dilakukan secara virtual. Semakin banyak kasus positif Covid-19 di berbagai Negara di dunia juga membuat banyak Negara memberlakukan lockdown. Berbagai daerah di Indonesia juga melakukan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dalam rangka mengurangi angka penyebaran Covid-19. Kebijakan ini membuat masyarakat diharuskan untuk semakin meminimalisir kegiatan di luar ruangan.   Produktivitas masyarakat hampir semuanya dilakukan secara daring, virtual dan dari kejauhan. Sehingga, pandemi Covid-19 ini membuat produktivitas masyarakat menjadi tergeser ke dunia maya yang tentunya memiliki dampak ke berbagai sektor industri. Mereka melakukan berbagai kegiatan dari rumah, seperti belajar, bekerja, berdoa hingga memperoleh hiburan dilakukan secara virtual. Bioskop ditutup dan tidak ada restoran untuk bersantap, membuat orang-orang menghabiskan lebih banyak hidup mereka secara online. Hal ini tentunya mendorong mereka untuk mencari hiburan pribadi alternatif setelah belajar atau bekerja secara daring. Salah satu alternatifnya yaitu dengan menonton drama Korea. Seperti dilansir dari asiantoday, menurut Suryanto (2020) operator Indonesia mencatat, sejak penerapan PSBB, data aktivitas streaming masyarakat meningkat sangat tinggi sebesar 193 persen. Peningkatan ini dibuktikan dengan penggunaan aplikasi streaming film, seperti Netflix, Viu, dan lainnya yang didominasi oleh pencarian film dari Korea. Serial drama korea tentunya sudah lama masuk ke Indonesia. Pada tahun 2000, drama korea berjudul Endless Love dengan genre romansa menjadi drama pertama yang ditayangkan di Indonesia. Menyusul drama korea lainnya berjudul Winter Sonata, Full House, Princess Hours, dan Boys Before Flowes yang sudah ditayangkan lebih dari dua kali di pertelevisian Indonesia hingga saat ini.

Selama pandemi Covid-19, penggemar drama Korea semakin bertambah. Hal itu dilihat dari Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dilakukan pada awal pandemi mengenai konsumsi drama Korea pada masa pandemi. Hasilnya menunjukkan terjadi peningkatan pada konsumsi drama Korea. Dari 924 responden yang di survei, sebanyak 91,1 persen mengaku menonton drama korea selama pandemi. Angka tersebut mengalami kenaikan 3,3 persen dari kebiasaan menonton drama korea sebelum masa pandemi. LIPI mencatat, ada 73 penggemar baru drama korea saat pandemi. Peningkatan jumlah penonton drama korea tersebut sejalan dengan melonjaknya kata kunci "drama Korea", "Korean drama, dan "drakor" pada Juni 2020. Kenaikannya mencapai 130 persen (Kompas.id, 29 September 2020). Pandemi ini tak hanya menambah jumlah penggemar drama korea. Masyarakat juga betah berlama-lama di depan layar gadget untuk menikmati adu akting aktor dan aktris Korea. Sehingga masih merujuk pada survei LIPI, rata-rata waktu yang digunakan untuk menonton drama Korea bertambah saat pandemi. Sebelumnya, responden hanya memanfaatkan 2,7 jam dalam satu hari untuk menonton drama Korea. Saat pandemi, waktu menonton bertambah hampir dua kali lipat menjadi 4,6 jam per hari. (Databoks, November 2020). Bahkan menurut hasil survei juga, empat dari sepuluh responden mengaku menonton Korea lebih dari enam kali dalam seminggu. Artinya drama Korea menjadi hiburan yang wajib ditonton setiap hari untuk mengurangi kejenuhan karena terlalu lama di rumah saja dan semakin banyak waktu luang yang dimiliki juga bisa saja menjadi dasar kebiasaan tersebut.

Kebudayaan pop terutama adalah kebudayaan yang diproduksi secara komerial dan tidak alasan untuk berpikir bahwa ia nampaknya akan berubah di masa yang akan datang. (Barker, 2011: 50). Drama Korea yang merupakan salah satu bagian dari gelombang Korea (Korean Wave) dapat dikatakan sebagai suatu produk budaya populer yang masih terus berkembang hingga saat ini, terutama di Indonesia. Keberadaan budaya populer sendiri merupakan wujud perlawanan tarhadap kemapanan nilai-nilai budaya tinggi yakni budaya yang dihasilkan oleh kaum intelektual. Namun ini budaya populer sudah tidak lagi dianggap sebagai budaya rendahan karena kaum intelektual pun telah terpapar oleh produk budaya populer. Raymond William memaknai budaya popular adalah budaya yang banyak disukai, dan karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang. (dalam Storey, 2003:10). Merupakan sebuah konsep yang menghasilkan suatu produk yang disebut produk budaya populer yang banyak disukai orang. Hal ini dapat terlihat dari fenomena drama Korea yang paling banyak dicari dan diakses pada mesin pencari selama pandemi ini. Demam drama Korea saat pandemi juga dapat dilihat dari maraknya konten di aplikasi Tiktok tentang spoiler drama Korea, akun Twitter yang dibuat khusus untuk membahas drama Korea, Instastory para artis dan influencer yang juga menonton serta mengulas drama Korea yang sedang mereka tonton.

 Fenomena penyebaran drama Korea tentunya tidak bisa dipisahkan dari peran media sebagai penyebar informasi yang mempopulerkan suatu budaya, terutama media daring dan media sosial. Dalam hal ini, media sosial memiliki peran yang lebih besar, contohnya pada Twitter, dimana menjadi tempat masyarakat yang menyukai drama Korea saling bertukar informasi mengenai drama Korea yang menarik untuk ditonton, berdiskusi mengenai jalan cerita dalam suatu drama. Bahkan, karena banyaknya masyarakat yang tertarik dengan drama Korea, pada masa pandemi ini, ada beberapa base drama Korea yang bermunculan, seperti drakoridfess sebagai wadah bagi para pecinta drama Korea. Dalam mengkonsumsi sesuatu dari media, dalam hal ini media daring dan media sosial, yang dimana masyarakat sebagai khalayak didorong oleh motif-motif tertentu guna memenuhi kebutuhan diri mereka dalam mencari informasi mengenai drama Korea kesukaannya.

Budaya pop adalah budaya yang berasal dari "rakyat". Budaya pop adalah budaya otentik "rakyat". Budaya pop seperti halnya budaya daerah merupakan budaya dari rakyat untuk rakyat. (Storey, 1993: 17-18). Konsep budaya pop ini tidak lepas dari terminologi hegemoni sebagaimana yang pernah dikonseptualisasikan oleh Antonio Gramsci. Budaya populer, sebagai media dia berfungsi untuk menarik masyarakat massa agar terus mengonsumsinya. Alhasil melalui budaya massa hegemoni masyarakat akan budaya populer begitu tinggi dan dapat meningkatkan keuntungan yang besar bagi para kaum komoditas (Ardia, 2014 : 17). Dengan maraknya drama Korea saat pandemi seperti ini, jika dianalisis mealui pandangan cultural studies fenomena ini tidak hanya sekedar dipahami adalah fenomena yang menjadi tren public atau yang sedang hit saat ini saja, akan tetapi dibalik itu ada kepentingan politik di baliknya. Kepentingan politik itu adalah strategi soft counter culture yang dilakukan oleh pemerintah Korea, para kaum komoditas yang berada di korea dan bekerjasama dengan kaum komoditas yang ada di Indonesia. Soft Counter Culture adalah strategi penjajahan secara halus melalui budaya (Ardia, 2014 : 16). 

Dengan budaya pop Korea yang telah diterima masyarakat Indonesia secara tidak sadar, para kaum komoditas memperoleh keuntungan yang besar. Keuntungan itu adalah, penjualan CD atau DVD lagu maupun drama Korea dan reality show Korea, penjualan aksesoris yang biasa dipakai artis drama Korea dan itu menjadi trendsetter para pecinta drama Korea yang ada di Indonesia. Selain itu, munculnya gaya fashion baru khas Korea, penjualan kosmetik dari korea, dan masih banyak lagi keuntungan yang bisa dihasilkan dari satu fenomena budaya yang ada. Adapun dampak yang ditimbulkan melalui adanya fenomena drama Korea ini adalah terkikisnya budaya Indonesia di kalangan generasi penerus bangsa, karena mereka lebih tertarik mempelajari budaya Korea yang disuguhkan menarik melalui kemasan dalam drama Koreanya. Hal ini dapat dilihat semakin banyak bermunculan lembaga-lembaga yang membuka kursus bahasa Korea. Kepedulian generasi bangsa akan budaya sendiri akan luntur karena mereka memandang budaya korea lebih asik dan lebih keren untuk dipelajari dan dinikmati. Dampak yang ditimbulkan dari fenomena ini, merajuk pada beberapa ciri dari budaya populer yaitu adanya tren public, mudah diadaptasi dan diterima masyarakat serta memperoleh keuntungan.

Oleh karena itu, untuk mengatasi dampak Korean Wave seperti drama Korea kapan saja, masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, diharapkan mampu menumbuhkan rasa yang kuat untuk memproduksi dan menikmati konten dari dalam negeri sebanyak mereka menikmati konten dan produk dari Negara lain. Peran serta perhatian Pemerintah Indonesia juga diperlukan dalam mendukung dan memelihara pembuat konten dan acara local dalam rangka memberikan kualitas yang sama atau bahkan lebih dari konten serta produk dari Negara lain.

Referensi 

Ardia, Velda. 2014. Drama Korea dan Budaya Popular. Jurnal Komunikasi, 2(3), 12-18.

Barker, Chris,2011. Cultural Studies : Theory and Practice. Nurhadi. 2020. Cetakan ke-7. Bantul: Kreasi Wacana.

Puspatisa, Yosepha. 2020. Durasi Menonton Drama Korea Meningkat saat Pandemi Covid-19. Diakses 03 Juli 2021. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/11/30/durasi-menonton-drama-korea-meningkat-saat-pandemi-covid-19

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun