Waktu menunjukkan lewat tengah malam. Secangkir kopi sudah tandas isinya. Namun saya masih duduk di depan jendela tanpa daun, menghadap ke beranda yang penuh dengan muda-mudi sedang asik bercengkrama. Di dalam ruangan sebuah rumah yang dialihfungsikan sebagi warung kopi atau yang lebih popular disebut cafe ini.
Saya tertarik dengan empat pemuda yang sedang mengobrol Tepat didepan jendela bagian luar. Duduk di satu meja yang letaknya paling dekat dengan saya. Membuat obrolan mereka dapat dengan jelas saya dengarkan. "ngomongin poligami, sakjane aku sepakat  karo omongane para ulama, ya... kita sering beranggapan kalau cewek gak mau di poligami. Padahal banyak cewek yang juga nawarin temennya untuk dinikahi juga. Cuma hal ini jarang kita ketahui dan bla... bla...bla..." seorang lelaki terus saja bicar sambil menghembuskan asap rokoknya ke udara.
Dari obrlan monolog itu, saya berasumsi kalau orang berkaus hitam dan sepertinya berlebihan memakai pomade hingga rambutnya tampak berkilauwan diterpa lampu beranda itu, merupakan senior yang sedang menceramahi juniornya. Seperti banyak senior-senior lainnya. Tiga orang yang lainnya terlihat hanya manggut-manggut sambil sesekali melihat layar HP dan memainkan touchscrennya. Seakan mengharapkan waktu cepat berlalu dan obrolan itu dapat segera berakhir.
Hampir menjelang waktu subuh obrolan mereka baru berakhir. Mereka saling bersalaman dan pergi begitu saja meninggalkan cangkir kosong, sekosong obrolan mereka yang Tanpa kesimpulan, tanpa bertukar pendapat, tanpa landasan argumen yang jelas. Hanya opini tanpa isi. lebih berisi cerita pengalaman penjual kopi yang telah 10 tahun lebih menjalankan usaha warkop faforit mahasiswa, seperti mereka dan saya.
Memperhatikan mereka membuat saya teringat waktu awal-awal kuliah. Waktu itu saya pun tak luput dari hal semacap ini. Diceramahi, dengan bahasa yang dibuat-buat dan monoton. Senior bercerita seolah-olah saya adalah anak kecil yang butuh didongengi. Jika  sudah terlanjur terjebak, tidak ada yang dapat saya lakukan selain tersenyum kecut sambil beberapa kali memanggutkan kepala berharap agar waktu cepat berlalu dan obrolan itu dapat segera berakhir.
Ada yang bilang kalau obrolan organisasi di warung kopi adalah kuliah kedua setelah di ruang kelas. Pelajarannya pun tidak diajarkan di bangku perkuliahan. Saya sepakat dengan pepatah ini. Namun kalau obrolannya berupa monolok keakuan? Tidak sebanding dengan harga secangkir  kopi yang harus dibayar. *
*tulisan ini pertama kali dipublikasikan dalam blog pribadi Â