Mohon tunggu...
Rokhmah Nurhayati Suryaningsih
Rokhmah Nurhayati Suryaningsih Mohon Tunggu... Administrasi - Keep learning and never give up

pembelajar sejati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nak, Berjuanglah Sekuat Tenaga untuk Meraih Masa Depanmu

29 Agustus 2019   05:10 Diperbarui: 12 September 2019   07:49 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak saya ketika masih kecil (dokpri)

Bagi banyak orang mungkin sudah biasa melepas anak untuk sekolah, mondok atau kuliah di kota lain, karena suatu kebutuhan. Makanya banyak orang tua dengan senang hati ikut mengantarkannya.

Namun bagi saya yang tidak tahu medan persekolahan ditambah dengan kemampuan bahasa anak saya yang masih kurang, akhirnya saya hanya bisa menyekolahkan anak saya di sekitar zonasi rumah saja. 

Sedihnya anak saya tidak bisa masuk dalam seleksi penerimaan sekolah negeri, membuat saya tambah bingung. Waduh kemana lagi anak saya mau disekolahkan. Sekolah di negeri tidak diterima, sekolah swasta juga kurang banget informasinya. Eh mau disekolahkan di swasta yang bagus, tidak tahu kemana saya harus mengantarkannya. 

Maklum waktu itu saya sebagai pendatang baru di Jakarta  masih sangat buta wilayah. Alhasil menyekolahkan anak hanya dengan modal saran dari tetangga, "Sekolahan itu bagus lho, anak-anak di sini juga pada sekolah disana."

Saya yang pingin banget anak saya sekolah, menerima saja saran tersebut. Masuklah anak saya disana. Sekolah itu dekat dengan rumah memang dan bisa ditempuh dengan jalan kaki. Wow! that's real blessing", pikir saya. 

Waktu pun terus berjalan hari demi hari tanpa ada drama yang berarti. Saya sendiri tidak pernah mempermasalahkan nilai yang dia dapat, karena saya sedikit tahu tentang kemampuan dia. Yang penting bisa sekolah saja sudah cukup. Salah saya sendiri yang tidak bisa memberikan pendidikan yang terbaik buat dia, karena saya tidak mengenal medan atau peta persekolahan di Jakarta. 

Menginjak tahun ke 2 dia bersekolah, keluhan-keluhan mulai dihembuskan. Anak saya mulai melaporkan apa yang terjadi di sekolahnya. Yang gurunya sering tidak datang, yang teman-teman suka mengganggu ketika dia sedang belajar, belum lagi baju seragam atau bukunya yang hilang.

Akhirnya saya pun sedikit panas, ah! ngapain sekolah isinya seperti itu. Saya kemudian tarik anak saya dari sekolah dan saya coba tangani sendiri dengan Home Schooling.

Celakanya saya tidak tahu kalau dia harus berafiliasi dengan salah satu Home Schooling (HS) yang ada, agar dia bisa dapat nilai, ikut test dan ujian. Waduh kesalahan yang fatal ini namanya, pikir saya.

Waktu berjalan hampir 2 tahun buat belajar sendiri, tapi tidak bisa ikut test dan ujian. Akhirnya saya kebingungan sendiri mau ikut afiliasi HS kemana. Beberapa HS yang saya hubungi tidak mau menerima murid yang hanya mau ikut ujian akhir sekolah dan ujian negara (UN). 

Ada satu HS yang mengijinkan anak saya ikut, tapi sayangnya jauh sekali lokasinya. Anak saya kecapekan karena untuk perginya saja butuh waktu sekitar 3 jam. Duh Gusti saya tidak tega melihatnya.

Belum lagi dia harus belajar disana dan pulangnya masih butuh waktu lebih dari 3 jam karena padat merayap lalu lintasnya. Akhirnya saya putuskan  batal ikut afiliasi dengan HS tersebut. Praktis dia tidak bisa ikut Ujian Sekolah dan Ujian Negara setingkat SMA.

Tinggal di Kebumen bersama nenek ketika baru pulang ke Indonesia
Tinggal di Kebumen bersama nenek ketika baru pulang ke Indonesia
Hmm, kemana lagi saya harus menyekolahkan anak saya. Jalan terakhir saya ikutkan ke program Paket C, agar dia bisa mengikuti ujian dan  mempunyai ijazah kesetaraan SMA. Tapi untuk tahun berikutnya.

Bagi saya, yang penting dapat ijazah setingkat SMA saja dulu, biarpun dengan program paket C. Sedihnya dia harus belajar lagi selama 1 tahun untuk bisa mendapatkan ijazah itu. Akhirnya apapun itu saya coba jalani dan teguhkan pendirian ke anak saya. Beruntunglah anak saya punya  semangat yang tinggi untuk belajar. 

Dengan berjalannya waktu, anak saya berhasil menempuh ujian nasional dan dia dinyatakan lulus. Bahkan dia bilang, "I'm the best, mommy!. Bagi saya bisa lulus saja, saya sangat bersyukur.

Untuk selanjutnya biarlah dia yang memilih sendiri mau kemana dia kuliah. Waktu terus berjalan dan dia mencoba ikut test SBMPTN belum juga lolos. Saya tawarin untuk kuliah di swasta dia tidak mau. Mungkin beranggapan kuliah di swasta biayanya mahal. Dan dia tidak mau memberatkan ibunya. 

Maka dia memutuskan untuk memasuki dunia kerja saja. Alhamdulillah, di dunia kerja malah dia bisa memberikan performance yang bagus. Bahkan baru lulus saja, dia sudah mendapatkan pekerjaan.

Habis satu kontrak pindah ke tempat pekerjaan yang lainnya. Jadi nyaris waktu menganggur pun tidak ada. Saya ikut bersyukur, bathin saya belajar tidak harus di bangku kuliah di perguruan tinggi. Tapi belajar bisa darimana saja, termasuk dari dunia kerja dan berinteraksi dengan banyak orang. 

Jadi waktu yang  hilang buat kuliah di perguruan tinggi, dia pakai untuk bekerja. Saya tahu pendidikan formal masih sangat diperlukan, tapi biarlah dia belajar melalui jalur lain dengan melihat dunia nyata. Semoga ada saatnya untuk kuliah nanti, kalau sudah waktunya. Itu saja yang terlintas dalam pikiran saya. Kenapa mesti harus dipikirin, ambil positifnya saja dulu.

Saat dia bekerja di dunia property (dokpri)
Saat dia bekerja di dunia property (dokpri)
Titik Balik
Suatu hari di bulan Oktober 2018, anak saya sedang bertugas di Bali untuk membantu dalam event berskala dunia. Dia bergabung dengan perusahaan Event Organizer (EO) di Jakarta yang  hanya fokus menangani event berskala internasional. Tapi status kerjanya memang kontrak.

Bagi saya tidak masalah, yang penting pengalaman yang bisa diperolehnya. Kalau satu event telah selesai, maka berakhirlah kerjaan yang ditugaskan. Kecuali ada event lainnya dan dia masih dibutuhkan, bisa bekerja lagi di perusahaan tersebut. Kebetulan waktu itu sudah tidak ada lagi event besar. Jadi dia pindah tempat kerjaannya.

Saat itu, dia bergabung dalam event pertemuan tahunan World Bank - IMF yang diadakan di Bali. Sebagai salah satu Staff panitia, tentu dia sibuk sekali menyiapkan urusan ini itu agar acara bisa terselenggara dengan baik. Persiapannya sudah dimulai selagi dia masih di Jakarta maupun ketika di Bali. Bahkan dia hampir 1 bulan bertugas di Bali untuk mengurusi event tersebut. 

Alhamdulillah, event tahunan WB - IMF terbilang sukses besar dan berjalan dengan lancar. Saya yang berada di Jakarta hanya bisa memonitor acara-acaranya saja lewat media online. Sementara mereka yang bertugas di Bali tentu sibuknya bukan main, apalagi yang hadir  adalah para delegasi dan petinggi di masing-masing negara yang tergabung dalam keanggotaan WB - IMF.

Melihat kehebohan dan keramaian di event tersebut membuat pikiran anak saya bangkit dan tergugah. Di kala senggang dalam bertugas, dia sempatkan untuk menelpon saya, "Mommy, when can I go back to the States?". 

Saya yang selama ini tidak pernah mendengar ada keinginan dia untuk balik ke Amerika sedikit kaget. Ini anak tidak ada angin dan tidak ada hujan, kok pingin balik ke Amerika. Saya pun menjawab dengan sekenanya , "After your birthday".

Bagi saya jawaban itu sebagai hadiah ulang tahunnya. Kebetulan bulan November adalah ulang tahunnya. Jadi tidak berlebihanlah kalau saya menjawab sekenanya. Paling tidak membuatnya terus bersemangat menanti hadiahnya.

Saat anak saya lewat di Kantor UN (dokpri)
Saat anak saya lewat di Kantor UN (dokpri)
Selesai urusan event besar di Bali, dia balik ke Jakarta dan memberesin laporannya. Saya pancing lagi "Do you still want to go back to the States?. Dia pun menjawabnya dengan semangat, "Yes, Mommy." Okay lah kalau begitu, saya persiapkan semua keperluannya, termasuk paspor. 

Bulan Februari paspor kelar dan saya pancing lagi, takut dia berubah pikiran. Sebelum beli tiket, saya tanya lagi ntuk meyakinkan niatannya, "Are you sure you want to go back to the States?". Jawabannya mantap dan tidak berubah, "Yes, mommy. I want to." Dari situlah, saya kemudian mulai hunting tiket  untuk penerbangan internasional. Saya coba mencari tiket pesawat yang murah. Maklum kebutuhan dia khan tidak cuma tiket. Betul nggak?, hahhaha

Sambil menunggu keberangkatan, dia mendapatkan surat rekomendasi dari Direktor HRD nya IMF. Rasa senangnya pun membuncah dengan mengatakan "Mommy, I got a recomendation letter from Direktor HRD IMF in Washington DC. Surat itu kemudian dia share ke teman-temannya di US untuk mendapatkan tanggapan. Wow!, this is very good letter. You can use it to apply for jobs and schools. Tambah semangatlah dia untuk berangkat dan tidak ada sedikit pun keraguan di hatinya.  

Menuju Keberangkatan
Rencana keberangkatan pertama anak saya pada bulan Mei dengan harapan dia punya banyak waktu untuk penyesuaian dan memenuhi semua persyaratan sekolahnya. 

Ternyata perjalanan pertama tidak berjalan mulus, ada sedikit drama yang membuatnya harus dibatalkan. Padahal tiket dan paspor sudah ditangan dan sudah berada di airport Soekarno Hatta. Dengan berat hati kami harus pulang kembali menjelang tengah malam.

Sambil menunggu refund dari tiket, kami beresin permasalahan yang ada di rencana keberangkatan pertama dengan berkonsultasi ke beberapa orang tentunya. Sekitar 2 minggu refund tiket sudah kami terima, lalu saya nyoba hunting tiket lagi. Tentunya nyoba dengan pesawat lain, karena pakai pesawat yang sama, Air China harganya sudah melonjak tajam.

Maka saya tidak kehabisan akal mencari pesawat yang lain, dapatlah pesawat Philippines Air. Alhamdulillah dapat harganya tidak beda jauh dengan harga sebelumnya. Namun perjalanan yang kedua ini sudah masuk bulan Juni, suhu udara pun sudah mulai hangat, karena memasuki musim panas.

Doa pun tidak henti-hentinya saya panjatkan dengan berharap perjalanan yang kedua ini lancar sampai tujuan. Karena pesawatnya lain, route perjalanan pun berubah. Dari yang semua singgah di Beijing karena pakai pesawat Air China berganti singgah di Manila karena mengunakan pesawat Philippines Air. 

Terhitung lama perjalanan dia ke negeri Paman Sam hampir 36 jam, karena harus transit di berbagai negara dari Singapore, Manila, Vancouver (Canada) dan di John F Kennedy, New York. Saya yang menunggu di Indonesia tidur pun tidak begitu nyenyak, karena pingin tahu bagaimana perkembangannya.

Beruntung dia tidak gaptek dengan teknologi, di setiap transit dia bisa menelpon saya dengan wifi yang berada di airport. Jadi dia pun bisa menelpon dengan leluasa, tanpa harus membayar paketan atau roaming buat telpon internasional. 

Stasiun kereta api Grand Central, NY (dopri)
Stasiun kereta api Grand Central, NY (dopri)
Land for the Free and Opportunity


Kini anak saya sudah sampai tujuan yang diinginkan, setelah menempuh perjalanan sekitar 36 jam.  Sayangnya sampai di JFK airport jam 1:00 pagi buta. Sambil menunggu temannya yang mau menjemput, dia sempatkan buat jalan-jalan di Manhattan di pagi buta. Padahal sudah saya pesan, hati-hati pagi buta ada di jalanan.

Dengan semangat yang menyala, akhirnya semua ketakutan dan halangan yang ada, tidak dihiraukannya. Dia bilang ramai orang di jalan-jalan. Tentu ramainya pagi buta dengan siang hari lain. 

Saya tahu kehidupan disana tidaklah mudah, karena dia harus berjuang sendiri. Namun karena bahasa tidak menjadi halangan baginya, saya yakin adanya kemauan yang kuat akan mengantarkannya mencapai semua yang diinginkan dan dicita-citakannya.

Saya tantang dia "Jangan pulang sebelum berhasil. Berusahalah dengan sekuat tenaga. Tetap berpeganglah pada tali Allah, karena kepada Nya kita semua berharap."

Good Luck, Sayang and Enjoy the process 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun