Setiap tanggal 1 Juni, wacana tentang Pancasila kembali menggema. Spanduk dipasang, upacara digelar, pidato bertebaran.
Namun, di balik kemeriahan seremoni, muncul pertanyaan yang tak nyaman tapi penting: apakah Pancasila benar-benar kita amalkan, atau sekadar kita peringati?Â
Di tengah maraknya ujaran kebencian, intoleransi, dan polarisasi sosial di ruang digital maupun nyata, Pancasila seolah kehilangan tempatnya; bukan karena tak relevan, tetapi karena tak dihayati dan diamalkan.Â
Maka, sudah saatnya kita bertanya lebih dalam: apa arti peringatan Hari Lahir Pancasila jika nilainya tak mewarnai perilaku sehari-hari?
Pancasila: Bukan Sekadar Teks atau Upacara
Pancasila lahir dari rahim sejarah yang berdarah dan penuh pergulatan. Ia bukan sekadar lima sila dalam teks pembukaan UUD 1945, melainkan kristalisasi nilai luhur bangsa: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan.Â
Bung Karno merumuskan Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa yang majemuk; bukan untuk dihafalkan saat lomba pidato semata, tapi untuk dijadikan panduan hidup berbangsa.
Namun kini, nilai-nilai itu kerap hanya terdengar dalam pidato resmi, bukan dalam pergaulan sosial. Ia tampil megah di mimbar, tapi sunyi dalam laku. Bahkan tak jarang, justru dilanggar oleh mereka yang paling lantang menyerukannya.
Fenomena Kekinian: Kontras dengan Pancasila
Menyedihkan, saat kita melihat kondisi masyarakat yang makin terfragmentasi. Polarisasi politik membelah ruang digital dan dunia nyata.Â