Di beranda waktu yang retak oleh sepi,
kupahat senyum di wajah langit jingga,
engkau datang; tak bersuara, tak bernama,
hanya harum langkahmu yang menghidupkan taman gersang jiwa.
Kita menanam mimpi di tanah yang tak sama musim,
kau sirami dengan mazmur, aku dengan ayat,
tapi bunga tetap tumbuh; meski warna dan arah kelopaknya
berbisik pada matahari yang berbeda.
Kebahagiaan, barangkali, adalah cangkir teh hangat
yang kita teguk sambil memejamkan keyakinan,
mengabaikan bahwa gula yang larut tak selalu satu rasa
di lidah waktu yang fana.
Aku mencintaimu
seperti laut mencintai batu karang;
menghempas, mencumbu, memeluk dalam badai,
meski tahu tak pernah bisa hanyut bersamamu ke dalam samudra keabadian
Setiap malam, doa-doaku menari di langit tak bernama,
mengharap secuil petunjuk:
adakah tempat bagi dua burung yang terbang dari sarang iman berbeda,
untuk bernaung di pohon abadi yang sama?
Tapi jawaban adalah bayang-bayang
yang hanya tampak saat cahaya luka datang
dan cinta ini menjadi api yang tak membakar,
hanya menghangatkan ruang kecil bernama "sementara."
Jika kelak kutemukan jalan cahaya,
dan kau tetap berjalan pada arah sinar yang lain,
maka biarlah rinduku menjadi jembatan tanpa ujung,
yang tak meminta kau berpaling,
hanya berharap langkahmu tak pernah goyah, meski tak bersamaku.
Karena aku mencintaimu,
seperti bumi mencintai hujan,
bahkan ketika tahu, air itu akan kembali ke langit,
dan tak pernah menetap di pelukannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI