20 Mei bukan sekadar tanggal dalam kalender. Ia seperti bel yang membangunkan bangsa dari tidur panjangnya.Â
Dan tahun ini, saya merasakannya secara berbeda. Bukan dari ruang kelas, bukan pula dari buku sejarah. Tapi dari stasiun; dari deru kereta yang datang dan pergi, dari langkah kaki yang berpacu dengan waktu.Â
Hari Kebangkitan Nasional saya temukan dalam wajah-wajah yang menanti Commuter Line, dan dalam kisah seorang masinis yang melintasi badai.
Refleksi dari Peron: Kebangkitan Itu Nyata
Sebagai seorang guru sekaligus ibu yang sering bolak-balik antar kota menggunakan Commuter Line, saya menyaksikan sendiri bagaimana moda transportasi ini bukan sekadar alat angkut.Â
Ia menjadi simbol kehidupan urban; tempat orang-orang mengejar mimpi, mengantar harapan, dan memungut letih.
Dulu, naik KRL rasanya seperti bertaruh: sesak, panas, dan tak pasti. Kini, semua berubah.Â
Saya bisa membaca buku di dalam gerbong yang sejuk, berdiri berdampingan dengan siapa pun tanpa saling berebut. Ada kesadaran baru yang tumbuh: bahwa kita semua bergerak bersama.
Commuter Line: Dari Masa Sulit Menuju Masa Emas
Transformasi Commuter Line merepresentasikan semangat kebangkitan itu sendiri. Dulu, kereta hanya dipilih karena tidak ada pilihan lain. Sekarang, ia menjadi pilihan utama.Â