Dalam badai pengangguran dan himpitan ekonomi, sepasang suami istri belajar bertahan. Cinta, pengertian, dan ketulusan jadi pondasi mereka menjemput harapan yang hampir padam.
Hujan turun sejak pagi, membasahi genteng bocor rumah kontrakan kami. Di dalam, aroma tempe goreng dan teh manis mencoba menutupi kekosongan meja makan yang tak lagi seramai dulu.
Aku menatap suamiku yang duduk diam, menatap lamaran kerja yang tak kunjung dibalas. Dahulu, ia bangga memakai seragam kantoran, kini bajunya lebih sering berbau asap dapur.
Tapi bagiku, ia tetap rumah. Karena cinta yang tulus tidak mengenal gaji tetap atau gelar, hanya butuh hati yang tetap tinggal—meski langit tak lagi biru.
***
Namanya Mas Bayu. Lelaki yang dulu kupilih karena kesederhanaannya, bukan karena saldo rekeningnya.
Ia kehilangan pekerjaannya tiga bulan lalu, dan sejak itu, keseharian kami berubah drastis. Tak ada lagi rutinitas pagi dengan dasi dan parfum kantor, tak ada lagi obrolan santai tentang rekan kerja di malam hari.
Yang ada hanya suara mesin cuci kami yang mulai lemah, dan kalender dinding yang penuh coretan jadwal interview.
"Aku gagal, dek" ucapnya suatu malam, pelan.
Aku menoleh dari panci bubur yang sedang kuaduk. “Gagal itu kalau kamu berhenti berusaha mas. Tapi kamu masih terus melamar, kan?”