Bahagia: Antara Eksistensi dan Kesadaran
Apa itu bahagia? Pertanyaan ini mungkin terdengar sederhana, namun telah menjadi bahan perdebatan panjang dalam sejarah filsafat.Â
Sejak zaman Aristoteles hingga eksistensialis modern seperti Jean-Paul Sartre, bahagia tak pernah dianggap sekadar perasaan menyenangkan yang muncul tiba-tiba. Ia lebih dalam daripada itu—bahagia adalah keadaan batin, hasil dari kesadaran, makna, dan pilihan hidup yang otentik.
Hedonia vs Eudaimonia: Kebahagiaan yang Mana?
Filsuf Yunani Kuno, Aristoteles, membedakan antara hedonia (kesenangan sesaat) dan eudaimonia (kebahagiaan sejati).Â
Menurutnya, kebahagiaan sejati bukan terletak pada kenikmatan sesaat atau pencapaian duniawi semata, melainkan pada kehidupan yang dijalani dengan kebajikan dan akal sehat.
Kita hidup di era yang banyak menjual hedonia: bahagia diasosiasikan dengan traveling mewah, kepopuleran media sosial, atau kepemilikan materi.Â
Namun, apakah itu sungguh kebahagiaan? Ataukah hanya ilusi yang justru menjauhkan kita dari diri sejati?
Viktor Frankl dan Makna dalam Penderitaan
Dalam buku Man’s Search for Meaning, Viktor Frankl—seorang psikiater sekaligus penyintas kamp konsentrasi Nazi—menggugat gagasan bahwa kebahagiaan harus selalu hadir dalam bentuk kenyamanan.