“Nanti aja hajinya, kalau sudah pensiun.”
“Haji itu ibadahnya orang tua. Yang muda mah fokus kerja dulu.”
Pernah mendengar ungkapan seperti ini? Atau mungkin justru kita sendiri pernah mengucapkannya?
Dalam masyarakat kita, ada anggapan umum bahwa ibadah haji adalah ibadah puncak; penutup kehidupan yang dilakukan di usia senja, saat semua urusan duniawi selesai.
Tak jarang, justru orangtua yang sudah uzur dipaksa berangkat haji meski kondisi fisiknya tak lagi prima. Padahal, ibadah haji adalah ibadah yang menuntut kesiapan fisik, stamina kuat, serta kelapangan hati dan pikiran.
Haji Butuh Tenaga, Bukan Sekadar Niat
Rangkaian ibadah haji bukan sekadar duduk berzikir di bawah payung masjidil haram.
Ada thawaf yang mengelilingi Ka'bah, sa’i yang menelusuri bukit Shafa dan Marwah, wukuf di padang Arafah seharian penuh, mabit di Muzdalifah dan Mina, hingga lempar jumrah yang mengharuskan kita berjalan jauh di tengah keramaian.
Semua ini jelas membutuhkan kondisi fisik yang prima.
Rasulullah SAW bersabda:
“Islam dibangun atas lima perkara: Kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan menunaikan haji ke Baitullah bagi yang mampu.” (HR. Bukhari no. 8, Muslim no. 16)
Hadis ini menegaskan bahwa haji wajib dilaksanakan bagi siapa saja yang mampu, baik secara fisik maupun finansial.