Pagi itu, secangkir kopi hangat tersisa di meja. Langit cerah, tapi pikiran ini rasanya kelabu.
Waktu berjalan seperti biasa, tapi ada yang tidak biasa dalam hati ini; seolah ada ruang kosong yang tak mampu saya isi dengan apa pun.
Lalu, dalam keheningan yang sunyi, muncul satu pertanyaan: Kapan terakhir kali saya benar-benar bersyukur?
Saya terdiam cukup lama. Bukan karena tidak tahu jawabannya, tapi karena saya sadar: sudah terlalu lama saya sibuk mengejar hal-hal yang belum ada, hingga lupa menghargai apa yang masih ada.
Saya mengejar lebih banyak uang, waktu luang, pengakuan, pencapaian; lalu kehilangan rasa takjub pada hal-hal sederhana: udara segar pagi ini, suara anak saya yang memanggil 'ibu', atau bahkan kesehatan yang masih saya miliki.
Mencari Makna Syukur dari Kaca Mata Filsafat
Banyak filsuf berbicara tentang syukur, meski tidak semua menyebutnya dengan kata itu. Marcus Aurelius, seorang Kaisar sekaligus Stoik yang gigih, menulis dalam catatannya:
“Jangan berharap segala sesuatu berjalan sesuai keinginanmu. Belajarlah mencintai kenyataan sebagaimana adanya.”
Dari dia saya belajar, bahwa rasa syukur bukan sekadar merasa senang saat mendapat apa yang kita mau, melainkan kemampuan menerima hidup dengan lapang meskipun tidak selalu sesuai rencana.
Sementara itu, filsafat Timur; terutama ajaran Zen mengajarkan bahwa syukur tidak perlu menunggu peristiwa besar. Ia hidup dalam tarikan napas, dalam hadirnya detik ini.