Pagi itu, niat hati ingin cepat membeli sayur karena hanya butuh satu dua jenis saja. Tapi kenyataan berkata lain; saya justru harus menelan kekecewaan dan rasa geram, bukan karena sayurnya habis, melainkan karena budaya antre yang kembali dipermainkan oleh rasa "sungkan" pedagang pada pelanggan, dan rasa "superior" dari sebagian pembeli yang tak tahu aturan.
Fenomena ini bukan sekali dua kali terjadi dan saya alami. Dari warung sayur, pom bensin, hingga beberapa pelayanan publik; masih banyak orang yang merasa berhak didahulukan hanya karena merasa lebih penting, lebih dikenal, atau sekadar lebih berani menyelonong.
Saya sendiri selalu menyuarakan dengan lantang jika ada hal-hal yang rasanya tidak pada tempatnya. Ya seperti kebiasaan menyerobot antrian ini. Dengan harapan, dari hal kecil tersebut bisa memicu perubahan dan kesadaran menuju arah yang lebih baik.
Lalu, seberapa penting budaya "antre" dalam kehidupan kita? Dan kenapa masih banyak yang mengabaikannya?
Antre, Cermin Kesadaran dan Kesetaraan
Antre bukan cuma perkara berdiri berjejer. Ia adalah bentuk konkret dari keadilan sosial. Siapa yang datang lebih dulu, dia yang didahulukan. Sesederhana itu!
Tapi mengapa masih sulit dipraktikkan?
Ketika seseorang rela berdiri dan menunggu gilirannya, itu bukan hanya tentang mendapatkan barang atau layanan, tapi juga tentang menghargai hak orang lain, menunjukkan empati, dan mempraktikkan etika sosial.
“Saya Cuma Sebentar”, “Saya Kenal Penjualnya”, dan Alasan Klise Lainnya
Sudah jadi pemandangan umum, seseorang datang belakangan tapi langsung memotong antrean dengan alasan “cuma beli satu”, “anak saya nangis”, atau “saya buru-buru”.
Ada pula yang langsung dilayani karena “langganan lama”, padahal jelas-jelas ada yang sudah lebih dulu menunggu. Budaya semacam ini membentuk pola pikir bahwa siapa yang paling berani menyela, dialah yang menang.