Baru-baru ini, seorang anak berkebutuhan khusus (ABK) berusia 13 tahun di kabupaten Tasikmalaya kembali menjadi korban pelecehan seksual oleh seorang pedagang cuanki di area sepi dekat permukiman warga.
Peristiwa ini bukan kali pertama terjadi di wilayah tersebut, menambah panjang daftar kekerasan seksual yang menimpa anak-anak dengan disabilitas.
Menurut keterangan warga, pelaku kerap mondar-mandir di kawasan tersebut. Korban, yang memiliki hambatan dalam intelektual tampak bingung dan enggan berbicara ketika ditemukan warga dalam keadaan trauma.
Kini, kasus ini tengah ditangani oleh pihak berwajib, sementara keluarga korban masih diliputi kecemasan dan duka mendalam.
Anak dengan kebutuhan khusus menghadapi kerentanan berlapis dalam kehidupan sehari-hari. Selain keterbatasan fisik atau intelektual, mereka juga kerap menjadi sasaran empuk bagi predator seksual karena dianggap tidak mampu membela diri atau menyampaikan laporan secara jelas.
“Banyak ABK yang tidak mendapatkan pendidikan tentang bagian tubuh pribadi, batasan sentuhan, atau cara melapor ketika mengalami hal tidak menyenangkan,” ungkap Yuni Kartikasari, seorang psikolog anak dan pemerhati isu disabilitas.
Hal ini diperparah dengan minimnya perhatian masyarakat terhadap keamanan lingkungan bagi ABK. Masih banyak ruang publik atau tempat usaha yang tidak ramah terhadap anak dan penyandang disabilitas, baik dari sisi pengawasan maupun akses informasi.
Pendidikan Seksual: Bukan Tabu, Tapi Kebutuhan
Stigma terhadap pendidikan seksual masih kuat di banyak kalangan, terutama ketika menyangkut anak-anak. Namun, pada ABK, pendidikan seksual bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan penting untuk perlindungan diri.