Layangan adalah puisi yang ditulis di langit. Dari tangan anak desa hingga seniman tradisi, ia terbang membawa harapan, doa, dan tawa. Ketika benangnya ditarik, bukan hanya angin yang digenggam; tapi juga kenangan, kearifan, dan kebebasan.Â
Layangan bukan sekadar permainan; ia adalah warisan yang melayang, menyatukan bumi dan langit dalam tarian budaya yang tak lekang oleh zaman.
Di kampung saya, di Kabupaten Tasikmalaya, sudah mulai banyak anak-anak yang terlihat asyik bermain layangan di area sawah kering dan dilapangan. Tapi tentunya tak sebanyak dulu, sebagian anak saat ini lebih memilih bermain gawai daripada layangan.
Suasana indahnya sore dengan warna warni layangan di langit mengingatkan saya pada pengalaman melihat indahnya Wau di Kelantan, Malaysia dan juga menonton festival Pegon di Boyolali. Keduanya memiliki sensasi dan keunikan tersendiri.
Menikmati Indahnya Tarian Wau dan Pegon di Sore hari
Langit Kelantan sore itu seperti panggung terbuka. Sebuah wau bulan raksasa terbang dengan anggun, dihiasi motif warna emas dan ungu yang berkilau diterpa cahaya matahari. Dentingan suara busur bambunya menyerupai nada alam yang magis, seolah menyanyikan puisi Melayu dari langit.Â
Beberapa bulan kemudian, saat mengunjungi saudara, saya pun berkesempatan berdiri di hamparan sawah Boyolali, menyaksikan festival layangan Pegon. Layang-layang besar khas Jawa itu mengepak kuat menantang angin, dengan iringan sorak anak-anak dan semangat warga yang tak kalah membahana.Â
Baca juga: Vasektomi dan Mitos Seputar EjakulasiDua pengalaman ini menyadarkan saya; di antara langit Malaysia dan Indonesia, budaya tak hanya hidup di bumi, tapi juga melayang, menari, dan bicara dalam bahasa angin.
Budaya yang Terbang Bersama Angin
Layang-layang bukan sekadar mainan. Di banyak budaya, ia merupakan simbol spiritual, ekspresi seni, sekaligus sarana rekreasi rakyat.Â