Tiap tanggal 1 Mei, kalender merah menandai Hari Buruh Internasional. Di kota-kota besar, lalu lintas terasa lengang. Mal-mal dipadati pengunjung, tempat wisata ramai oleh keluarga yang memanfaatkan libur.Â
Tapi di balik keceriaan itu, ada jutaan buruh yang tidak pernah benar-benar libur dari perjuangannya; perjuangan untuk hidup layak, dihargai, dan diperlakukan manusiawi.
Hari Buruh seharusnya bukan sekadar simbol. Bukan hanya orasi-orasi di jalan atau jargon tahunan yang hanya hidup di spanduk.Â
Baca juga: Nikah Hemat di Era Flexing, Berani?
May Day adalah momentum refleksi nasional; sejauh mana negara ini memperlakukan para pekerja yang menjadi tulang punggung ekonomi bangsa?
Buruh Hari Ini: Di Antara Harapan dan Ketidakpastian
Di tengah kemajuan zaman dan geliat ekonomi digital, nasib buruh Indonesia belum banyak bergeser.Â
Masih ada guru honorer dengan penghasilan di bawah UMR, pekerja pabrik kontrak yang sewaktu-waktu bisa diberhentikan tanpa pesangon, hingga ojol (ojek online) yang tak punya perlindungan hukum meski bekerja sepenuh waktu.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa lebih dari 60% tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal; tanpa jaminan kesehatan, tanpa kepastian pensiun.
Ini bukan hanya angka. Ini adalah wajah-wajah orang tua kita, tetangga kita, bahkan mungkin diri kita sendiri.
Tuntutan yang Tak Pernah Lekang