"Cintai dirimu sendiri" telah menjadi mantra zaman modern.
Dari poster motivasi hingga kampanye kesehatan mental, ajakan untuk memprioritaskan diri sendiri menggema di mana-mana. Merawat diri, menetapkan batasan, dan memperjuangkan kebutuhan pribadi dianggap langkah penting menuju kesejahteraan.
Namun, di tengah euforia merayakan self love, muncul pertanyaan yang tak kalah penting: di mana batas antara cinta diri yang sehat dan perilaku egois?Â
Apakah semua yang dibungkus atas nama "self love" otomatis baik? Atau, tanpa sadar, kita kadang sedang memelihara keegoisan yang dibalut kata-kata indah?
Lewat pandangan para filsuf, kita diajak menimbang ulang makna sejati mencintai diri dan mengapa memahami batasannya menjadi kunci untuk hidup yang tidak hanya lebih bahagia, tetapi juga lebih bermakna.
Mengurai Self Love dan Selfishness
Di permukaan, self love dan selfishness tampak serupa: keduanya berfokus pada diri sendiri. Namun, bedanya terletak pada niat dan dampaknya.
- Self love berarti menghargai dan merawat diri, memahami kebutuhan pribadi, dan menjaga batasan tanpa merugikan orang lain.
- Selfishness, sebaliknya, mengutamakan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain, menuntut perhatian tanpa memberi timbal balik, dan mengabaikan kebutuhan sesama.
Dalam kehidupan sehari-hari, batas antara keduanya bisa kabur. Apa yang kita yakini sebagai "hak diri" kadang menjadi pembenaran untuk mengabaikan tanggung jawab sosial.
Filsafat Berbicara: Mencintai Diri dengan Bijak
Filsuf sepanjang zaman telah membahas konsep diri dan cinta diri, jauh sebelum istilah "self love" menjadi tren.