Di tengah derasnya tuntutan hidup, ekspektasi sosial, dan banjir informasi tanpa henti, banyak dari kita terjebak dalam pusaran overthinking dan kecemasan.
Validasi di media sosial, tekanan karier, hingga ketidakpastian masa depan membuat hidup terasa berat dan penuh ketakutan. Tanpa disadari, kita mencari kebahagiaan di luar diri, mengejar pujian dan pencapaian yang tak pernah benar-benar memuaskan.
Namun, lebih dari dua ribu tahun lalu, sekelompok filsuf dari Yunani kuno telah menawarkan jalan keluar sederhana namun mendalam: Stoikisme. Sebuah filosofi hidup yang mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan tentang mengendalikan dunia luar, melainkan menguasai diri sendiri.Â
Hari ini, di tengah kerumitan modern, ajaran ini terasa lebih relevan daripada sebelumnya; menjadi oase ketenangan dalam hiruk-pikuk zaman.
Menggali Stoikisme: Filsafat yang Menyederhanakan Hidup
Stoikisme lahir di Yunani sekitar abad ke-3 SM melalui Zeno dari Citium, lalu berkembang pesat lewat tokoh-tokoh seperti Epictetus, Seneca, hingga kaisar Romawi Marcus Aurelius.Â
Inti ajarannya sederhana: kendalikan apa yang bisa kamu kendalikan, dan terimalah dengan lapang dada apa yang tidak bisa.
Stoikisme mengajarkan bahwa emosi negatif bukan berasal dari peristiwa itu sendiri, melainkan dari penilaian kita terhadapnya. Dengan memfokuskan energi pada respons, bukan pada hal-hal di luar kendali, kita bisa menemukan ketenangan sejati.
Dalam dunia modern, prinsip ini menjadi jawaban atas kegelisahan kolektif yang sering kita alami.
Dunia yang Bising, Jiwa yang Gelisah