In this economy, ketika harga kebutuhan pokok terus melambung dan biaya hidup kian menekan, keputusan untuk menggelar pesta pernikahan mewah seharusnya menjadi bahan pertimbangan serius.
Ironisnya, budaya flexing justru semakin menjamur, mendorong pasangan muda untuk berlomba-lomba menampilkan pesta glamor mereka demi eksistensi di media sosial.
Di tengah tekanan ekonomi dan sosial yang semakin kompleks, muncul pertanyaan besar: masih adakah yang berani memilih nikah hemat?
Flexing di Pelaminan: Antara Gengsi dan Realita
Fenomena flexing; pamer gaya hidup mewah, tak hanya merambah dunia fashion atau kendaraan, tapi juga pernikahan.
Media sosial dipenuhi dengan konten bertema wedding goals: gedung mewah, gaun seharga puluhan juta, hiburan artis papan atas, hingga dokumentasi sinematik yang lebih menyerupai film layar lebar. Semua ini membentuk persepsi bahwa pernikahan yang “layak” ditonton adalah yang mewah dan megah.
Menurut pakar budaya digital dari Universitas Indonesia, Dr. Rahmatullah, media sosial menciptakan pressure sosial tersendiri.
“Ada semacam kompetisi tidak langsung di kalangan milenial dan Gen Z. Pernikahan menjadi ajang pembuktian, bukan lagi semata-mata ikatan sakral,” ujarnya.
Realitas Finansial: Akad Hari Ini, Utang Seumur Hidup?
Data dari Asosiasi Perencana Keuangan Indonesia (AFPI) menunjukkan bahwa rata-rata biaya pernikahan di kota besar Indonesia mencapai Rp150 juta–Rp300 juta.