"Kakak kan sudah besar."
Kalimat sederhana yang terdengar biasa, tapi menyimpan luka yang tak terlihat.
Anak sulung, ia adalah yang pertama lahir ke dunia, menjadi pelita pertama di hati orang tua. Ia juga yang pertama kali belajar berjalan, berbicara, dan memanggil "Ayah" dan "Ibu."
Namun begitu adiknya lahir, ia pun "naik pangkat" menjadi kakak. Mendadak dunia seolah mengharapkannya untuk dewasa, padahal usianya masih terlalu belia untuk memikul kata “tanggung jawab.”
Anak sulung sering kali digambarkan sebagai pribadi tangguh, mandiri, dan bisa diandalkan. Ia menjadi tempat orang tua bersandar, menjadi contoh bagi adik-adiknya, dan kerap diminta untuk mengalah.
Namun di balik semua ketangguhan itu, ada sisi lain yang sering terabaikan: kelelahan yang tak terucap, kerinduan untuk dimanja, dan luka yang tak pernah ditanya.
Tangguh Sejak Dini: Peran Ganda Anak Sulung
Dalam banyak keluarga, anak pertama sering menjadi "eksperimen" orang tua. Segala nilai-nilai, prinsip, dan pola asuh pertama kali diterapkan padanya. Tidak sedikit anak sulung tumbuh di bawah bayang-bayang ekspektasi besar: harus menjadi teladan, harus berhasil, harus kuat.
Tanpa disadari, anak pertama memikul beban peran ganda; sebagai anak dan juga sebagai ‘asisten orang tua’ yang selalu diharapkan membantu.
Mereka jarang diberi ruang untuk lelah, apalagi mengeluh. Sebab, begitu mereka tampak rapuh, orang akan berkata, “Kamu kan kakak. Masa kalah sama adik?”
Di Balik Senyumnya, Ada Rindu yang Tak Tersampaikan