Ketika Pelukan Lebih Dahsyat dari Amarah
Di suatu senja yang seharusnya tenang, rumah itu justru dipenuhi suara tangisan anak, bunyi piring yang jatuh, dan aroma susu yang tumpah memenuhi meja makan. Sang istri yang seharian bekerja paruh waktu,mengurus rumah dan sang buah hati tampak sangat lelah, rambutnya berantakan, dan tangannya gemetar. Ia menahan air mata di pelupuk, melihat rumah yang seperti kapal pecah, anak yang menangis minta susu, dan panci kosong yang mengingatkannya bahwa makan malam belum disiapkan.
Ia ingin berteriak, tapi lebih ingin menangis.
Namun tiba-tiba, pintu rumah terbuka. Seorang pria masuk dengan wajah lelah usai bekerja. Tapi bukannya mengeluh, atau menambahkan amarah dalam kekacauan itu, ia justru memeluk keduanya: istri dan anaknya.Â
"Sudah, masuk kamar dulu ya... sekarang giliran superhero yang ambil alih," bisiknya sambil mengedipkan mata dan tersenyum.
Ia tidak bertanya-tanya siapa yang salah. Ia tidak menyalahkan istri atas kekacauan itu. Ia paham: ada hari-hari di mana lelah istri butuh dipeluk, bukan dihakimi.
Dengan cekatan, ia membersihkan tumpahan susu, membereskan mainan berserakan, lalu memasak makan malam sederhana; nasi hangat, telur dadar, dan sayur bening.Â
Ia membuatkan susu untuk si kecil, dan secangkir cokelat panas untuk istrinya. Di atas nampan itu, seolah tersaji juga: ketulusan, pemahaman, dan cinta tanpa syarat.
Hari itu tak sempurna, tapi kehadiran seorang suami yang sabar membuat semuanya terasa kembali baik-baik saja.
Suami: Antara Cobaan dan Berkah
Setiap istri punya kisah sendiri tentang suaminya. Ada yang merasa diuji oleh sifat pasangannya: egois, keras kepala, atau tak pernah mau mengerti. Tapi ada juga yang merasa beruntung karena memiliki suami yang sabar, pengertian, dan dewasa.