Dulu Disuapi Ancaman, Sekarang dengan Cinta
"Kalau nggak habis, Mama marah!"
"Makan ya, biar dapat hadiah nonton YouTube!"
Kalimat ini mungkin terdengar akrab di meja makan banyak keluarga. Saya pun dulu pernah melontarkannya. Semua demi satu tujuan: anak makan.Â
Tapi setelah berkali-kali mencoba cara keras maupun bujuk rayu dengan gawai, saya sadar, ini bukan sekadar soal nasi di piring, tapi relasi yang sedang saya bangun.
Pola asuh zaman dulu, yang belakangan populer disebut Parenting VOC, mengandalkan kedisiplinan kaku, kontrol mutlak, dan minim kompromi.Â
Sebagaimana Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)Â menerapkan sistem tanam paksa, sebagian orang tua tanpa sadar memperlakukan anak seperti ladang yang harus tunduk. Padahal, dunia sudah berganti.
Anak-anak kita hidup di era di mana "diperintah tanpa dijelaskan" sudah tak relevan lagi.
Parenting VOC: Warisan Otoriter yang Masih Tersisa
Parenting VOC tak selalu diucapkan, tapi terasa dari cara kita merespons anak:
- "Pokoknya harus nurut!"
- "Jangan banyak alasan!"
- "Kalau nggak makan, nggak main!"
Pola ini mungkin berhasil membuat anak patuh sesaat, tapi jangka panjangnya? Anak tumbuh dalam tekanan, kurang percaya diri, dan tidak belajar mengambil keputusan.Â
Mereka makan bukan karena sadar pentingnya nutrisi, tapi karena takut. Mereka taat bukan karena paham, tapi karena cemas pada konsekuensi.