Belum lama ini, perhatian publik tertuju pada terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2025 yang menetapkan besaran tunjangan kinerja pegawai di lingkungan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.Â
Di tengah suasana penuh harap menuju Indonesia Emas 2045, keputusan ini ibarat petir di siang bolong, mendadak, mengejutkan, sekaligus memancing ragam tanggapan.
Bagaimana tidak? Pegawai dengan jabatan tertinggi bisa menerima tunjangan kinerja hingga Rp147 juta per bulan. Sementara menteri yang memimpin kementerian tersebut mendapatkan 150% dari itu, atau sekitar Rp220 juta per bulan. Tak heran jika warganet menyebutnya sebagai "tunjangan kelas sultan."
Namun di balik gemerlap angka tersebut, muncul satu pertanyaan besar:
Akankah tunjangan super ini menjadi pemicu lompatan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia? Ataukah justru menjadi sekadar simbol kemewahan birokrasi tanpa dampak berarti?
Antara Harapan dan Kekhawatiran
Masyarakat tentu ingin melihat perubahan nyata dari kebijakan ini. Jika para pejabat dan pegawai di sektor pendidikan tinggi menerima tunjangan tinggi, maka publik berharap ada lonjakan kinerja, kemajuan riset, dan tata kelola kampus yang lebih progresif.
Namun, tak sedikit pula yang skeptis. Sebab, kita sering menyaksikan bahwa kesejahteraan tak selalu seiring dengan integritas dan profesionalisme.Â
Gaji besar tidak otomatis membuat seseorang lebih berdedikasi, kecuali disertai dengan sistem evaluasi dan pengawasan yang ketat, transparan, dan berkelanjutan.
Pendidikan Tinggi: Pilar Masa Depan Bangsa
Pendidikan tinggi seharusnya menjadi motor utama perubahan sosial dan ekonomi. Di dalamnya, lahir para ilmuwan, pemikir kritis, dan inovator.Â