Cinta Tak Bisa Bayar Cicilan, Tapi Bisa Bagi Beban Hidup
Di tengah harga sembako yang melambung, cicilan yang kian menggunung, dan biaya hidup yang nyaris tak punya rem, satu kalimat klasik mendadak terasa sangat nyata: “Cinta saja tidak cukup.” Tapi… benarkah?
Saat media sosial ramai dengan frasa "in this economy", banyak orang menggunakan lensa ekonomi untuk melihat segala hal, termasuk urusan hati dan rumah tangga.
Tapi bagi kami, yang sudah menikah, kami tahu satu hal: ketika cinta digandeng dengan kerja sama, kalkulator pun bisa jadi alat romantis.
Realitas Rumah Tangga di Tengah Krisis
Pernikahan bukan sekadar janji suci di pelaminan, tapi perjalanan panjang yang penuh kompromi. Terutama di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu.
Harga beras naik, susu anak makin mahal, biaya sekolah menuntut tabungan yang belum cukup. Belum lagi cicilan rumah, kendaraan, listrik, dan kebutuhan sehari-hari yang tak bisa ditunda.
Kami nggak cuma pegangan tangan, tapi juga pegang kalkulator, setiap minggu. Ya, kami hitung dan rencanakan semuanya bersama. Bermimpi dan mewujudkan semuanya bersama, meski prosesnya kadang teramat panjang.
Pasangan zaman sekarang tak hanya dituntut untuk setia, tapi juga cermat. Saling pengertian bukan hanya soal emosi, tapi juga soal angka dan strategi.
Cinta dan Kalkulator: Narasi Kemitraan Sejati
Tak sedikit pasangan yang memilih duduk berdua setiap awal bulan, bukan untuk candle light dinner, tapi untuk menyusun anggaran. Pembagian peran menjadi kunci: siapa yang handle belanja bulanan, siapa yang urus cicilan, siapa yang simpan dana darurat termasuk bagi-bagi tugas rumah.