Di balik senyum yang dibagikan di media sosial dan caption manis berisi ucapan syukur, ada banyak pasangan yang diam-diam menahan letih. Bukan karena kurang cinta, tapi karena lelah yang tak tahu harus diceritakan pada siapa.
Pernikahan yang digadang-gadang sebagai “ibadah seumur hidup” ternyata tak selalu berjalan dalam nuansa surgawi. Lalu, pertanyaannya: kenapa banyak pasangan malah merasa lelah?
Antara Harapan dan Realita
Sejak kecil, banyak dari kita dibesarkan dengan bayangan bahwa menikah akan menyempurnakan hidup. Tapi ketika fase “bulan madu” usai, realitas muncul: tanggung jawab, peran ganda, finansial, perbedaan karakter, hingga ekspektasi sosial yang terus menekan.
Sebuah studi dari American Psychological Association menunjukkan bahwa sekitar 40-50% pasangan menikah di dunia mengalami penurunan kepuasan pernikahan setelah tahun ke-2 atau ke-3.
Hal ini disebut dengan istilah “marital drift”, ketika keintiman perlahan memudar karena rutinitas, tekanan hidup, dan kurangnya komunikasi emosional.
Lelah yang Tak Terucap: Bukan Salah Pasangan
Lelah dalam pernikahan sering kali bukan karena pasangannya jahat, melainkan karena tidak adanya ruang untuk menjadi diri sendiri di dalam ikatan itu. Banyak istri yang merasa harus menjadi superwoman yang mengurus anak, rumah, pekerjaan, dan masih dituntut tetap cantik dan sabar.
Di sisi lain, banyak suami merasa terbebani sebagai “tulang punggung” dan harus selalu kuat, bahkan saat dirinya rapuh.
Psikolog keluarga, Dra. Ratih Ibrahim, M.M., pernah mengatakan bahwa “Pernikahan bukan tentang mencari siapa yang benar, tapi bagaimana dua orang bisa tetap bertumbuh dalam perbedaan.” Bertumbuh, dalam konteks ini, berarti saling memahami, bukan saling menuntut.
Upgrade Love Language dan Emotional Bank Account-mu!