"Kenapa belum ada yang komentar?" "Apa aku kurang menarik?"
"Kok story dia rame terus, aku sepi, ya?"
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu kini akrab di benak banyak orang, bahkan tanpa sadar. Di tengah ledakan media sosial, rasa haus akan pengakuan makin merajalela.
Like, komentar, mention, dan pujian virtual menjadi "bahan bakar" kebahagiaan, padahal sejatinya semua itu bersifat semu dan sementara.
Validasi sosial adalah pengakuan yang kita terima dari orang lain atas sikap, tindakan, atau pencapaian kita. Dalam kadar wajar, validasi memang penting untuk membangun koneksi dan kepercayaan diri.
Namun ketika pengakuan dari luar menjadi satu-satunya tolok ukur nilai diri, saat itulah validasi berubah jadi candu.
Validasi, Overthinking, dan Krisis Diri
Kecanduan validasi membuat seseorang cenderung overthinking, merasa cemas jika tidak mendapat respons yang diharapkan. Akibatnya, mereka mulai mengatur hidupnya berdasarkan ekspektasi orang lain, bukan dari nilai dan suara hati sendiri.
Psikolog klinis dr. A. Kasandra Putranto pernah mengatakan, “Validasi itu bagaikan pelukan emosional. Tapi jika kita terlalu mengandalkannya dari luar, kita bisa kehilangan jati diri dan terus-menerus merasa tidak cukup.”
Efeknya bisa sangat nyata: perasaan rendah diri, stres, depresi ringan hingga kelelahan emosional. Dalam jangka panjang, ini bisa merusak relasi sosial dan kualitas hidup.
Ketika Validasi Jadi Narkotika Baru