Sebuah Renungan Tentang Maaf, Lisan, dan Kehidupan
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Saudara-saudariku
Hari ini, kita kembali bertemu dengan Idul Fitri, hari kemenangan bagi jiwa-jiwa yang telah berjuang melawan hawa nafsunya selama sebulan penuh.Â
Setelah menahan lapar dan dahaga, menahan amarah dan syahwat, kini tiba saatnya kita merayakan hari suci ini dengan hati yang bersih dan jiwa yang lapang. Namun, sebelum kita larut dalam kebahagiaan, mari sejenak merenungi makna sesungguhnya dari Idul Fitri.
Idul Fitri bukan sekadar hidangan lezat di atas meja. Lebaran bukan hanya tentang opor ayam, ketupat, rendang, atau kue-kue manis yang tersaji. Ia lebih dari sekadar takbir yang menggema di malam hari atau baju baru yang dikenakan di pagi Syawal.Â
Idul Fitri adalah kembali ke fitrah, kembali pada kesucian hati, kembali kepada Allah dengan jiwa yang lebih baik dari sebelumnya.
Namun, pertanyaannya, apakah kita benar-benar kembali kepada kesucian itu? Apakah kita hanya mengganti kalender tanpa benar-benar memperbaiki diri?
Dosa dan Kesalahan, Untuk Apa Kita Meminta Maaf?
Kita semua adalah manusia, tempatnya salah dan lupa. "Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat." (HR. Tirmidzi).
Maka, di hari yang fitri ini, izinkan aku dengan penuh ketulusan memohon maaf. Untuk segala khilaf, tutur kata yang mungkin menyakiti, janji yang terabaikan, atau sikap yang tanpa sadar melukai. Sebab aku sadar, aku bukanlah manusia yang sempurna.