Mudik dan Jejak Karbon: Tradisi yang Perlu Dievaluasi
Mudik adalah momentum yang selalu dinantikan, menghadirkan kehangatan dan kebersamaan di tengah keluarga. Namun, tanpa disadari, tradisi ini juga meninggalkan dampak besar terhadap lingkungan.Â
Lonjakan penggunaan kendaraan pribadi dan pesawat selama musim mudik menyebabkan peningkatan emisi karbon yang signifikan.
Berdasarkan data Kementerian Perhubungan RI, diperkirakan lebih dari 100 juta orang melakukan perjalanan mudik setiap tahunnya, dengan sebagian besar menggunakan mobil dan motor berbahan bakar fosil. Kondisi ini berkontribusi terhadap peningkatan polusi udara dan pemanasan global.
Jika tidak ada langkah nyata untuk mengatasi hal ini, tradisi mudik yang kita banggakan justru bisa menjadi ancaman bagi masa depan lingkungan.Â
Oleh karena itu, inisiatif mudik nol emisi hadir sebagai solusi untuk mengurangi dampak ekologis tanpa menghilangkan makna perjalanan pulang ke kampung halaman.
Mengapa Mudik Konvensional Tidak Ramah Lingkungan?
Ada beberapa faktor utama yang membuat mudik tradisional meninggalkan jejak karbon tinggi:
1. Penggunaan kendaraan pribadi secara masif. Mobil dan motor menjadi pilihan utama pemudik, padahal tingkat emisinya jauh lebih tinggi dibandingkan transportasi massal seperti kereta api atau bus.
2. Kemacetan yang memperburuk polusi. Perjalanan yang seharusnya memakan waktu singkat sering kali menjadi berjam-jam akibat padatnya arus lalu lintas. Kendaraan yang berhenti dan berjalan lambat dalam kemacetan menghasilkan lebih banyak emisi gas buang.