"Pendidikan adalah jantung peradaban. Tapi bagaimana ia bisa berdetak kencang jika para guru yang menopangnya justru dibiarkan bernapas dalam kesulitan?"
Pendidikan berkualitas tidak mungkin terwujud tanpa guru yang sejahtera. Di tengah tuntutan penerapan Deep Learning dan pembelajaran berdiferensiasi, realitas kesejahteraan guru di Indonesia masih menjadi ironi yang menyakitkan.
Mereka didorong untuk berinovasi, memahami karakteristik siswa secara mendalam, dan menerapkan metode pembelajaran yang memuliakan, tetapi di sisi lain, banyak dari mereka masih bergelut dengan ketidakpastian ekonomi dan status kepegawaian.
Tak sedikit guru honorer dengan perjuangan berat, berjalan di Medan yang tak mudah berkilo kilo jauhnya yang menerima gaji jauh dari kata layak, bahkan lebih kecil dari uang jajan siswa sekolah internasional.Â
Jika pendidikan berbicara tentang masa depan bangsa, mengapa para pendidik yang memegang peran kunci justru sering kali dibiarkan berjuang sendiri?
Deep Learning: Filosofi Pembelajaran yang Memuliakan
Konsep Deep Learning menuntut guru untuk tidak sekadar menyampaikan materi, tetapi juga membimbing siswa agar memahami ilmu secara mendalam, menghubungkannya dengan pengalaman nyata, serta mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan reflektif.Â
Hal ini sangat erat kaitannya dengan pembelajaran berdiferensiasi, yang menyesuaikan metode dan pendekatan dengan kebutuhan, minat, serta gaya belajar individu.
Dalam perspektif pedagogik, pembelajaran yang bersifat mendalam akan lebih efektif jika guru memiliki waktu dan energi untuk merancang pembelajaran dengan baik.Â
John Hattie (2009), dalam risetnya mengenai Visible Learning, menegaskan bahwa efektivitas pengajaran sangat bergantung pada keterlibatan emosional dan profesionalisme guru. Namun, bagaimana guru bisa sepenuhnya hadir secara emosional jika mereka sendiri mengalami tekanan psikologis akibat ketidakpastian ekonomi?
Di Finlandia, yang dikenal memiliki sistem pendidikan terbaik, kesejahteraan guru menjadi prioritas utama.Â